Sabtu, 15 Januari 2022

Ujian Lima Tahun Perkawinan (15)

 


Suka duka menjadi guru honorer dengan gaji yang minim hanya cukup untuk membeli susu anakku. Kebutuhan lain dan makan sehari-hari aku mengharap ada sisa dari  uang setoran dari angkot yang dijalankan Mas Aro. Namun setiap hari uang dari naik angkot tidak cukup menutup setoran. Akhirnya mau tidak mau angkot bersama rekom trayek Tlogosari-Johar diambil alih bapak, dan dijual, daripada kami harus menanggung hutang untuk menutup setoran. Meski  bapak harus merelakan angkot itu dijual dengan harga murah, karena memang pasaran trayek itu semakin lama semakin sepi. Bagi yang tidak punya hutang di bank dan tidak bayar setoran, masih cukup penghasilan 100 ribu per hari. Tapi tidak bagi yang mobil angkotnya masih kredit.

Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang membutuhkan jasa Mas Aro sebagai driver pocokan pada kegiatan kampus LPMP Undip. Meski tidak setiap hari ada kegiatan kampus, paling tidak dua minggu sekali ada, dan pendapatannya cukup lumayan karena sering bertugas di luar kota. Apalagi bila tidak hanya sebagai driver tapi juga membantu sebagai tenaga ‘serabutan’ akan ditambah dengan tips. Aku berharap semoga rezeki yang didapatkan Mas Aro meski ada,  cukuplah untuk menyambung perekonomian keluarga tanpa harus terbebani hutang. Dan harapanku yang lain, semoga salah satu dari kita, aku atau Mas Aro memiliki pekerjaan tetap.

Sedikit demi sedikit sisa uang belanja bulanan aku tabung untuk bisa melunasi pinjaman Bu Widya. Meski Bu Widya tidak pernah menagih ke kami, tapi hutang harus tetap kami bayar. Aku tidak mau kebaikan Bu Widya aku sepelekan. Karena melunasi hutang secepatnya adalah targetku. Semakin cepat tentu semakin baik, sehingga aku bisa memikirkan kebutuhan yang lain, apalagi Alif kini sudah kelas tiga SD dan Huda tahun depan sudah mulai masuk TK.

Atas saran seseorang, kami dianjurkan untuk ‘membangun nikah’ atas segala apa yang sudah menimpa rumah tangga kami. Membangun nikah atau nikah ulang dimaksudkan untuk mengucapkan ijab qobul lagi dengan tujuan memperbaiki hubungan pasutri keduanya.

Ujian Lima Tahun Perkawinan (14)


 Hitungan weton dalam adat Jawa yang masih berlaku kala itu aku hiraukan. Dengan Bismillah tentu aku lebih mantap menjalani hari-hariku bersama Mas Aro calon suamiku. Apakah cinta telah membutakan mata hatiku? Tidak. Karena sebelum aku memutuskan aku mau menjadi istrinya, aku mohon petunjuk pada Allah agar aku dimantapkan bila Mas Aro adalah jodohku dan suami yang terbaik untukku melalui tahajud dan istikharahku.

Sudah tertuliskan kami menikah di hari minggu legi, aku dilahirkan di hari minggu wage, weton Mas Aro minggu kliwon, dan anakku Alif lahir di hari minggu pahing. Semua terjadi di hari minggu, sehingga satu hari ditempati  empat peristiwa penting, kelahiran dan pernikahan. Kata orang satu hari itu menopang empat kegiatan dan harus dibagi rata. Maka akan sangat berat ujian yang diterima bagi orang yang berada di dalam peristiwa hari minggu. Wallahu a’lam bishawab, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

Menjadi sopir angkot memang butuh kesabaran. Mengumpulkan receh demi receh. Pada jam-jam tertentu, pagi pukul 05.30 sampai 09.00 WIB misalnya adalah saat-saat ramai orang berangkat ke sekolah atau bekerja. Namun setelah itu hanya dua atau tiga orang saja yang bepergian naik angkot. Tentu kalau tidak diperhitungkan dengan matang pada jam-jam seperti itu akan merugi karena sepi penumpang, malah bisa tekor pada bensinnya. Sore hari mulai pukul 16.00 WIB jam trayek mulai padat.

Bila dihitung-hitung tak banyak hasil bersih yang didapat dari menjalankan usaha angkot ini. Setelah dikurangi bensin, uang makan dan upah harian kernet, uang yang diterima berkisar 100 ribu sampai 125 ribu. Tentu ini belum cukup untuk membayar ansuran sebesar 4 jutaan per bulan. Agak lumayan bila dapat carteran, bisa dapat hasil bersih 150 ribu. Tapi kan tidak setiap hari ada carteran.

Sopir angkot pemula biasanya mengalami hal ini. Mereka belum mengenali peluang-peluang mana jam-jam sibuk yang membutuhkan angkot, dan mana jam-jam sepi yang tak perlu narik angkot. Atau mereka belum punya langganan anak sekolah,  ibu-ibu kantoran atau karyawan pabrik yang biasa naik angkot. Memang harus jeli dan mau jemput bola untuk ngetem agar angkot penuh terisi dan tak merugi. Biasanya angkot sudah ngetem berjejer rapi menunggu  saat bubaran pabrik, atau bubaran anak sekolah. Tak jarang ini memicu pertengkaran antar sesama sopir angkot.

Memang hidup di jalanan penuh dengan perjuangan dan kekerasan. Seharian dari pukul 05.30 sampai habis Isya baru pulang membuat Mas Aro kelelahan. Penghasilan yang tidak pasti dan penuh saingan karena jumlah angkot lebih banyak dibanding jumlah penumpang pada jalur trayek Tlogosari-Johar menjadikan pekerjaan ini mungkin tidak tepat bagi Mas Aro. Belum lagi dia sering terlambat sholat Ashar atau Maghrib karena kejar setoran atau pas mengantar ke suatu tempat. Setelah dipikir-pikir pekerjaan ini tidak cocok buat Mas Aro. Dia jadi jarang mengaji, sholat juga tak khusyu dan tumaninah, karena pikirannya kejar setoran, kejar duit, sehingga kadang-kadang hari minggu atau tanggal merah dia gunakan untuk istirahat, tidak narik. Dan tentu ini mengurangi pemasukan.

“Sabar, Mas. Memang belum ketemu jalannya. Rezeki meski dikejar sekalipun kalau itu bukan jatah kita ya enggak akan ketangkep. Tidak hari ini mungkin lain hari bisa dapat carteran,” hiburku sambil memijit kakinya. Tiap malam Mas Aro selalu minta dipijit sebelum tidur. Pijitanku menyegarkan badan dan pikiran katanya. Meski hanya beberapa sentuhan ringan tak sekuat tukang pijit beneran, cukup membuatnya nyaman.

Duh..Gusti Allah, sebenarnya aku pun lelah. Bekerja, beres-beres rumah  dan mengurus Huda, balitaku yang belum genap setahun. Tapi semua ini aku syukuri, karena  Alif sulungku tinggal bersama ibuku dan bersekolah di SD terdekat di sana dan Huda diasuh Budhe Kasminah di sini. Alif akan aku jemput bila weekend tiba, sabtu sore. Meski tiap hari masih mampir dan menengok Alif untuk mengetahui keadaannya, aku selalu merindukan hari segera berjalan menuju sabtu agar aku bisa menjemput buah hatiku. Aku tidak mau Alif keenakan dimanja nenek kakeknya dan tak mau tinggal bersama kami.

bersambung …


Ujian Lima Tahun Perkawinan (13)

 


Rasanya agak lega dan bisa bernafas setelah Bu Widya membantu melunasi hutang-hutang suamiku. Aku berharap ini tak akan terulang lagi selama perjalanan biduk rumah tangga kami. Hari-hari yang telah lewat biarlah menjadi pengingat bahwa untuk menuju keberhasilan, kesuksesan harus berjuang dan berdoa. Semua rintangan dan hambatan menjadikan cambuk agar kita  mawas diri, tapi terus semangat dan yakin, kita berusaha dan berdoa, Allah yang menentukan. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan. Sebagai orang yang beriman, tentu kita bertawakal kepadaNya dan berkhusnudon bahwa rencana Allah lebih indah dari yang kita kira.

Sudah lama kami tidak pulang mudik. Dua tahun terakhir dari lima tahun usia perkawinan kami, kami amat jarang pulang ke kampung. Entah kenapa tiba-tiba aku rindu emak mertua yang desa. Hampir dua lebaran ini kami tak mengunjunginya. Selain tidak ada ongkos untuk pulang ke desa, kami pun malu dengan apa yang dialami Mas Aro. Karena sanak saudara di kampung sudah mendengar tentang keadaan kami dan sangat menyayangkan apa yang dilakukan Mas Aro. Aku tidak ingin Mas Aro yang baru bangun dari keterpurukannya kembali sakit dan bersedih demi melihat sanak saudara di kampung menghujamnya dan memusuhinya. Aku ingin menjaga hatinya, ingin menjaga perasaannya.

Meski  perbuatan Mas Aro telah melukai hatiku, aku tak tega juga bila suamiku tersudut oleh pertanyaan-pertanyaan mereka yang tentu saja aku sebagai istrinya akan disangkutpautkan dan aku tidak mau terjadi kesalahpahaman antara aku, Mas Aro dan keluarga besar suamiku. Sesekali waktu kami hanya bisa telpon emak, mohon maaf dan minta doa restu dari beliau lewat Budhe Sarti, kakak tertua Mas Aro yang bisa kami percaya. Budhe Sarti tidak keberatan saat kami memintanya untuk menyampaikan permohanan maaf dan salam kami untuk emak saat kami  menelponnya. Kebetulan rumah Budhe Sarti berseberangan dengan rumah Emak. Maafkan kami, Mak. Kami belum bisa pulang, doakan anakmu ini, istri dan keluarganya selalu sehat, dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Doakan kami bisa pulang secepatnya. Kami rindu emak, kami sangat mencintai emak.

Pernah suatu malam aku bermimpi ketemu Emak. Emak datang ke rumah dan menyapu lantai rumah kami sampai ke halaman  depan. Ketika aku tanya, mengapa Emak menyapu rumahku? Jawab Emak sedih, “Biar bersih Nduk, rumahmu kotor. Biarlah Emakmu membantu menyapu.” Aku tak tak tahu arti dari mimpiku. Yang pasti saat itu sangat rindu Emak, sosok wanita yang telah melahirkan anak laki-laki yang kini menjadi suamiku. Sosok sederhana seorang ibu yang hingga usia separuh abad masih rajin bekerja di sawah, hidup menjanda sekian puluh tahun, semenjak Mas Aro duduk di kelas dua SD. Membesarkan enam orang anaknya sendiri. Sosok wanita yang kuat dan tegar, yang patut aku contoh. Bukti kesetiaan pada almarhum suamianya dan tanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya. Meski anak-anaknya tak bisa bersekolah tinggi, tak mengenyam pendidikan tinggi, tapi mengenyam pendidikan karakter dan pelajaran kehidupan yang luar biasa yang ditanamkannya.

Aku teringat kata-kata Emak saat sebelum aku dan Mas Aro menikah. “Jadilah istri yang bisa melayani suami, Nduk.”  Kehidupan rumah tanggaku akan penuh ujian, terlebih dalam soal keuangan.

“Kowe kudu pinter ngecake duit.  Senajan uripmu rekoso, sok mben uripmu mulyo, amarga daringanmu kebak. Mulo kowe kudu setiti, nyisihna duit supoyo bisa nyukupi kebutuhan liyane.”  kata Emak dalam Bahasa Jawa, yang artinya bahwa aku harus pintar mengelola keuangan rumah tangga kami. Meskipun hidupku susah sekarang, namun esok masa depanku bahagia dan mulia, karena  ‘daringan’ (Bahasa Jawa yang artinya tempat beras) yang kumiliki penuh. Jadi ini merupakan pertanda bahwa aku harus menyisihkan uang atau menabung sisa uang belanja agar dapat mencukupi kebutuhan atau membeli kebutuhan lain selain kebutuhan pangan dan sandang. Tentu ini bukan asal bicara, tapi berdasarkan perhitungan weton  (tanggal lahir) kami.

Dalam adat Jawa, apabila pasangan calon pengantin akan melangsungkan pernikahan, orang tua masing-masing akan mencari hari yang baik saat melakukan ijab qobul pernikahan dengan menghitung weton masing-masing. Mas Aro yang lahir hari Minggu Kliwon dan aku lahir Minggu Wage memiliki jumlah angka yang lebih tinggi.  Minggu wage jumlahnya song0 (sembilan) dan minggu kliwon jumlahnya telulas (tiga belas). Bila jumlah wetonku dan weton Mas Aro dijumlahkan hasilnya rolikur (dua puluh dua). Hitungan Jawa ini artinya suamiku akan menang dan tetap menjadi pemimpin keluarga.  Dan wetonku yang jumlahnya di bawah jumlah weton Mas Aro, akan banyak mengalah. Sehingga meskipun terjadi benturan dalam perjalanan rumah tangga kami, diantara kami ada salah satu akan memahami yang lain. Dan ini sisi baik menurut hitungan weton  tadi.

Angka dua puluh dua dalam rumah tangga disebut ‘topo’ (bertapa) yang artinya pasangan ‘topo’ akan mengalami kesusahan di awal pernikahan karena masih saling memahami tapi akan bahagia pada akhirnya. Masalah yang dihadapi bisa masalah ekonomi dan lainnya. Nah, setelah memiliki anak dan cukup lama berumah tangga akan sukses dan bahagia.

bersambung….

Ujian Lima Tahun Perkawinan (12)

 


Wajah kusut tampak garis-garis yang menua di bawah mata. Beban berat yang ditanggungnya seakan tercermin dalam wajah wanita umur tiga puluhan itu. Garis-garis kecantikannya memudar karena tak sempat lagi untuk merawat tubuhnya. Jangankan berlipstik,  berbedakpun kini ala kadarnya. Dalam pikirannya, bagaimana mendapatkan uang untuk bisa membayar hutang-hutang suaminya. Waktu dihabiskannya untuk mencari uang dan mencari uang, berhemat dan berhemat. Selesai mengajar dia lantas mencari tambahan dengan mengajar di tempat lain atau memberi les privat.  Sore hari baru pulang bahkan Isya baru pulang. Namun belum juga hutang-hutang itu lunas.

Terbersit dalam fikirannya siapa yang bisa membantunya. Kedua orang tuanya ? Tak mungkin ia berani cerita pada kedua orang tuanya. Bapak ibu sudah banyak membantu. Aku sudah sering merepotkannya. Lalu siapa? Bisakah aku pinjam uang orang lain, yang bisa memberi kelonggaran aku dalam mengangsurnya ? Kalau tak segera kututup hutang-hutang ini, setiap hari menjadi beban fikiranku, setiap hari ada saja orang yang datang menagih hutang. Aku akan pinjam pada satu orang dan kututup semua hutang beberapa orang yang menagihku.  Dan aku hanya fokus untuk mengembalikan pada satu orang. Tapi siapa? Apa rumah ini satu-satunya barang berharga yang kumiliki harus aku jual? Duuh Gusti Allah…berikan petunjukMu.

Beberapa saat aku termenung. Satu persatu kupikirkan kira-kira siapa teman yang bisa membantuku. Kurebahkan badan ini di atas kssur. Anakku Huda sudah sejak sore tadi terlelap. Kupandangi wajahnya yang polos bersih dan lucu menggemaskan.  Aroma tubuh bayi menyegarkan badanku. Melihat Si Kecil pulas di sampingku, rasa lelah setelah seharian keluar rumah, terhempas hilang, terobati dengan mengelus dan menciumi tubuh anakku. Ya Allah, begitu masuk rumah hilang seluruh penatku, berganti dengan rasa syukur yang tak ternilai melihat anak-anakku sehat dan menyenangkan. Meski aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka, setidaknya aku sudah berusaha memberikan yang terbaik.

Tiba-tiba aku teringat teman  lama ketika aku masih mengajar di Akademi Analis Kesehatan Nusaputera. Bu Widyawati namanya. Ya, Bu Wid panggilannya adalah orang yang dermawan dan baik hati. Dia sering menolong orang yang kesusahan, menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Karena dia tidak berkeluarga karena tidak menikah, dan tidak punya masalah finansial, sehingga uangnya banyak digunakan untuk membantu siapa yang menbutuhkan, sebagian disimpan di bank dalam bentuk deposito. Kiranya Bu Wid adalah orang yang tepat yang harus aku hubungi dan mintai pertolongsn.

*****

Kuceritakan semua kejadian yang menimpaku pada Bu Wid. Mulai dari awal pernikahan sampai detik itu yang terlilit hutang sekian puluh juta, yang tak sanggup aku bayar dan terus menerus dikejar administrasi dan bunga yang beranak pinak. Bu Widya memahami dan segera memberi solusi untuk melunasi semua hutang-hutangku, juga menebus sertifikat rumah kami. Dan Alhamdulillah Bu Widya memberi kelonggaran waktu kapan saja bila aku punya uang bisa mengangsurnya, berapa pun akan diterimanya semampuku, tanpa jaminan apapun. Subhanallah…begitu baik dan ikhlasnya beliau dan ini tak akan kulupa seumur hidupku. Aku tak usah memikirkan lagi, yang penting aku dan keluarga sehat, Mas Aro tidak mengulangi perbuatannya. Uang bisa dicari, tapi persahabatan dan cinta kasih  demi mempertahankan mahligai rumah tangga itu yang terpenting. Kuncinya adalah  kesabaran dan keikhlasan.

Berkat uluran tangan Bu Widya akhirnya kami bisa melunasi semua hutang-hutang kami dan juga bisa menebus sertifikat rumah. Semoga ini yang terakhir dan tak akan terulang lagi. Semoga ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kami. Semoga hari-hari mendatang dapat kami songsong dengan hati yang optimis, hidup bergairah dan tekad untuk memperbaiki. Hari esok harus lebih baik dari hari ini dan hari kemarin.

bersambung…

Ujian Lima Tahun Perkawinan (11)


Bapak kasihan dan tidak tega melihat keadaan ekonomi rumah tanggaku. Mas Aro yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan aku hanya seorang guru honorer di salah satu SMP Negeri dan masih harus mencari tambahan dengan mengajar privat. Melihat anaknya yang pontang panting, badannya kurus karena kurang istirahat dan makan seadaanya, bapak menawarkan modal padaku untuk buka usaha. Dengan senang hati kami terima tawaran bapak.

Usaha yang kami pilih adalah berdagang beras. Kami melihat beras sangat murah di desa Mas Aro. Kami beli dari pedagang besar di sentra penggilingan padi di sana, dengan harapan keuntungan yang lumayan saat dijual di kota. Pedagang itu setuju dan segera mengirim beras sebanyak 5 kuintal atau 500 kg dalam minggu. Tentu saja ini membuat kami senang, tapi juga bingung karena kami belum memiliki relasi atau langganan yang bisa menjual beras kami. Mas Aro berusaha mencari pembeli dan pelanggan yang mau menjualkan beras kami. Pulang mengajar sambil berjalan aku keluar masuk pasar, keluar masuk gang mencari warung yang mau aku titipi beras, dan warung-warung nasi yang mau aku setori beras, meski pembayarannya mundur.

Usaha beras ini cukup melelahkan. Untung yang tidak seberapa dipotong bea transpot dan pembayaran yang mundur dari tempo yang telah dijanjikan, membuat usahaku ini berhenti di tengah jalan. Kualitas beras desa yang masih original belum dikemas dengan baik dan kami belum berpengalaman bagaimana menangani supaya beras tidak mudah dimakan kutu serta awet dalam penyimpanannya, maka usaha ini hanya bertahan enam bulan. Dan order yang pertama itu menjadi order yang terakhir usaha kami, dan kami harus segera melunasi pembayaran ke pedagang itu.

Dari usaha beras kami pindah ke usaha mebel. Kebetulan kota asal Mas Aro adalah Blora, penghasil kayu jati. Di Blora kayu jati harganya masih murah dan banyak dijual ilegal bahkan ada yang dijajakan keluar masuk desa.  Hal ini menarik perhatian kami, karena menjual mebel dengan harga di bawah harga toko dan barang tidak harus terjual saat itu juga, menjadikan bisnis mebel ini jadi pilihan kami. Kami coba tawarkan pada teman, dan toko mebel di sekitar kami. Ternyata memang tidak mudah atau memang kami tidak berbakat menjual, mebel yag kami tawarkan tidak ada yang berminat membelinya, dengan alasan sudah punya pengrajin langganan, model kurang menarik dan harga yang tidak cocok. Dan usaha yang ketiga inipun gagal.

Dari beras kami beralih ke usaha angkot. Kami mencoba melihat peluang usaha angkot setelah ditawari kenalan yang mau menjual trayek angkot Johar-Tlogosari. Karena terbujuk rayuan si penjual trayek itu kami pun mencoba usaha ini. Memerlukan uang 25 juta untuk bisa memiliki ijin operasional angkot itu, maka kami pun meminta pertimbangan bapak dan meminta bapak untuk meminjam kan modal ke kami. Dan untuk uang muka pembelian mobil angkot kami mengajukan kredit ke bank yang bisa kami angsur dari setoran harian saat angkot itu beroperasi. Kelihatannya menjanjikan ditambah dengan iming-iming akan dia bantu, maka Mas Aro tertarik untuk mencoba menjadi sopir angkot, dengan harapan dapat setoran harian yang dikumpulkan untuk mencicil ansuran mobil. Dengan harapan setelah empat tahun mobil angkot itu bisa menjadi milik pribadi.

Ternyata memang usaha bila belum menemui jalannya, sukar dilakukan. Secara teori kami kalkulasi jumlah hasil bersih usaha angkot, setelah dikurangi bensin dan makan minum sopir dan kernet, uang recehan yang dikumpulkan dalam sebulan tidak bisa untuk menutup ansuran mobil, dan kami harus menomboknya. Sementara uang yang digunakan untuk menutup ansuran terpaksa harus pinjam orang lain, karena tentu akan kena denda bila terlambat. Hutang orang satu  untuk menutup hutang yang lain. Tutup lubang gali lubang, sama saja menambah hutang. Belum lagi tagihan BPR yang juga nunggak sekian bulan. Ya Allah …mengapa usaha demi usaha kami gagal? Kami sudah berusaha dan selalu gagal. Apakah salah kami? Apakah ini karma untukku karena waktu itu ibu tak merestui pernikahanku dengan Mas Aro yang berakibat kini rumah tanggaku tak bahagia? Maafkan aku ibu. Ampuni aku Ya Allah…beri kami petunjukMu dalam setiap langkah dan perbuatan kami, agar kami selalu mendapat ridloMu.

bersambung …

Ujian Lima Tahun Perkawinan (10)

Meski kedua orang tuaku meminta aku untuk menggugat cerai pada Mas Aro, aku tetap tidak mau bercerai darinya. Aku yakin dari sholat tahajud dan istikharoh yang kulakukan, jawaban hatiku makin kuat, bahwa aku tidak ingin bercerai darinya. Kuyakinkan pada bapak dan ibu, kami akan menghadapi ujian ini bersama, dan kuyakinkan pada mereka, kami bisa melewatinya bila mendapat dukungan keluarga, bapak dan ibu.

Aku paham dan mengerti, tentu bapak dan ibu sedih dan kecewa, putri kesayangannya menderita lahir dan batin, karena suaminya tidak bertanggung jawab, tidak  menafkahinya selama sekian bulan. Tapi bapak dan ibu tidak bisa memaksakan kehendaknya, tidak bisa turut campur dalam urusan dalam negeri rumah tanggaku. Aku yang menjalaninya dengan segala konsekuensi dan resikonya. Aku hanya berharap doa dan kebesaran hati kedua orang tuaku untuk memaafkan aku dan Mas Aro. Dan terima kasih yang tak terhingga pada kedua orang tuaku, karena disamping merawat Alif, karena Alif kutitipkan di rumah ibu selama aku bekerja, bapak dan ibu juga membantu finansial  rumah tangga kami. Ibu sering membawakan kami makanan dan kadang-kadang memberi jajan dan mencukupi kebutuhan Alif. Karena bagaimanapun juga aku anaknya dan Alif adalah cucunya, tentu mereka tak akan tega kami hidup dalam kekurangan dan kemiskinan.

*****

Belum ada sebulan saat Huda sakit dan dirawat di rumah sakit, cobaan menghantam rumah tanggaku lagi. Aku masih ingat waktu itu, Mas Aro mengabarkan kalau siang tadi Alif jatuh saat bermain di jam istirahat sekolah. Alif bermain ayunan sambil berdiri dan jatuh dengan posisi kepala di bawah. Ini mengakibatkan dia muntah dan pusing luar biasa sehingga nangis terus menerus.

Mendengar berita itu, hatiku tersayat-sayat. Alif anakku jatuh di sekolah? Bagaimana keadaannya? Bagaimana gurunya dalam menjaganya? Anak-anak TK memang aktif. Usia mereka adalah usia bermain. Bagaimana gurunya bisa lalai dalam menjaganya? Seribu pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Buah hatiku jatuh dan kini dirawat di RSU Panti Wilasa. Duh Gusti..belum hilang kejadian kemarin saat adiknya dirawat di RSU ini, kini kakaknya malah harus rawat inap karena ada gegar otak di kapalanya. Ya Allah, masihkah Engkau menguji kesabaran kami? Anakku yang masih kecil, masa-masa pertumbuhan emas dalam hidupnya harus mengalami kecelakaan ini? Sembuhkanlah anakku Ya Allah. Belas kasihani anakku. Ya Rahman Ya Rahim…hamba mohon sembuhkanlah, jadikan dia anak yang kuat Ya Allah.

Segera aku menyusul ke RSU Panti Wilasa. Hatiku sangat sedih. “Kasihan kamu Mas. Maafkan mama, kamu harus menderita begini. Jauh dari mama dan kini kamu sakit”, kataku sambil mengelus kepalanya. Air mataku bercucuran. Melihatnya diinfus dan wajahnya yang pucat membuatku tak tega. Alif anak yang baik tentu kamu kuat nak. Semoga tidak ada kerusakan serius di kepalamu. Semoga ini hanya benturan ringan yang tidak membahayakan.

Keesokan harinya aku dipanggil dokter. Kata dokter Alif sudah tidak muntah. Dia masih harus dirawat dalam beberapa hari, dan tim dokter anak akan melakukan cek ct scan pada kepalanya untuk memastikan keadaan otaknya. Dan harapannya kalau kejadian itu diringi dengan muntah yang merupakan rksi spontan tubuh, tentu tidak akan membahayakan organ otaknya. Begitu  penjelasan dokter yang membuatku merinding. Untunglah dr. Susetyo adalah dokter anak terbaik di RSU itu. Aku mohon dia bisa memberikan perawatan yang terbaik untuk anakku.

“Alif, anak mama sayang..kamu harus sembuh ya nak. Kamu jangan lama-lama tidur di rumah sakit ini. Kasihan Mbah Uti dan Mbah Kung yang sudah kangen dengar suaramu. “

“Iya, mama. Alif pingin cepat sembuh.”

“Nanti kalau Alif sembuh, Alif mau minta hadiah apa sayang.”

“Aku pingin mobil balap yang besar yang ada remotenya ma.”

“Nanti mama belikan tapi kamu harus mau makan yang banyak. Biar cepat sembuh ya. Nanti kalau sudah sembuh kita jalan-jalan sama ayah dan Dik Huda. Ok?”

bersambung …

Ujian Lima Tahun Perkawinan (9)


Setelah menjalani perawatan dan diinfus, suhu badan Huda sudah berangsur turun. Kini suhunya sudah normal dan sore itu diijinkan pulang oleh dokter. Alhamdulillah, meski aku harus menebus obat dengan harga yang lumayan mahal tapi kabar gembira karena sudah diijinkan pulang jadi agak mendinglah daripada harus rawat inap yang tak terbayang berapa uang yang harus aku bayar. Dan sore itu kami pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang itu, aku bertanya pada Mas Aro, kemana dia pergi selama ini. “Mas, kamu selama ini kemana saja? Tidak ada kabar berita. Tidakkah kamu merindukan kami?”

“Pertanyaanmu tak perlu kujawab, Dik. Apakah aku tak rindu kalian? Setiap hari setiap saat wajah kalian terbayang di pelupuk mata. Setiap malam aku selalu berdoa untuk kalian. Ingin rasanya pulang, memuntahkan rasa kangen ini, tapi seketika itu teringat kau marah padaku, karena aku belum bekerja. Terbayang betapa kau berjuang mencari nafkah dan menghadapi orang-orang yang menagih hutang, membuat nyaliku ciut untuk pulang. Aku  merasa berdosa dan bersalah pada kalian, tapi aku tak berani pulang, Maafkan aku.”

“Lalu selama ini kamu kemana? Kamu tidur dimana?”

“Aku berusaha mencari pekerjaan, Dik.  Tidur di rumah teman, dari satu teman ke teman yang lain. Kadang di mushola atau di masjid.”

“Masya Allah, ada tempat yang nyaman di rumah Mas. Kenapa kamu tidak pulang ke rumah saja? Lalu bagaimana makanmu? Dari mana?”

“Dari belas kasihan orang. Kadang-kadang ikut bantu mengajar di pondok.”

“Maafkan aku, Mas. Memang aku marah padamu karena perbuatanmu membuatku menderita. Tapi aku tak bisa hidup tanpamu. Aku membutuhkanmu. Bagaimanapun keadaanmu, engkau adalah suamiku. Seberat apapun beban pikiranmu aku wajib menolongmu, aku harus mau menerima kenyataan bahwa ini ujian untuk kita, kita harus bersama melewatinya”, isakku dalam dekapannya.

Aku tak kuasa menahan air mata ini. Menjalani hari-hari tanpa dia di sisiku, rasanya berat hidup ini. Meski aku sombong bisa mencari nafkah sendiri, bisa membesarkan kedua anakku dengan gajiku sendiri dan menganggap suamiku tak ada gunanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan yang ada, aku tak bisa pungkiri bahwa aku membutuhkan kehadirannya, membutuhkan dia tempat aku mencurahkan isi hati dan perasaanku, tempat aku mengadu dan berbagi kesedihan. Meski pernah kedua orang tuaku meminta aku menggugat cerai pada Mas Aro, karena dia tidak bertanggung jawab, sudah sekian bulan tidak memberi nafkah, dan tak pernah pulang, tapi keinginan untuk bercerai darinya tak ada di hatiku. Aku masih mencintainya.

Seberat apapun ujian yang kuhadapi, aku yakin Allah akan menolongku. Kupasrahkan semua padaNya. Aku yakin aku bisa melewatinya. Meski perceraian halal dan aku berhak mengajukan gugat cerai karena tak dinafkahi lahir dan batin selama sekian bulan, tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku tak mau anak-anakku kehilangan sosok seorang ayah. Aku tak mau menjadi janda. Predikat yang tak pernah aku bayangkan. Meski aku mampu menghidupi anak-anakku tapi menyandang status janda membuatku takut menghadapi kenyataan hidup. Aku yakin meski bercerai itu halal tapi Allah membencinya. Apalagi hanya persoalan ekonomi.

Setiap malam aku bangun untuk mengambil air wudlu. Melakukan sholat tahajud menjadikan hatiku tenteram dan aku kuat menjalani ujian ini. Aku bersimpuh, memohon ampun, mengadu dan menangis hanya pada Allah. Kupanjatkan doa, kucurahkan semua isi hatiku, aku yakin Allah Maha Mendengar doa dari hamba yang teraniaya. Semoga Allah memberi petunjuk, apa yang mesti aku lakukan, menunjukkan jalan yang terbaik. Seandainya Mas Aro masih menjadi suamiku, tolong bawa pulang dia Ya Allah. Beri dia hidayah dan ingatkan padanya ada anak dan istri yang setia menunggunya. Ada keluarga kecil yang mengharap keberadaannya.

bersambung…

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...