Sabtu, 15 Januari 2022

Ujian Lima Tahun Perkawinan (9)


Setelah menjalani perawatan dan diinfus, suhu badan Huda sudah berangsur turun. Kini suhunya sudah normal dan sore itu diijinkan pulang oleh dokter. Alhamdulillah, meski aku harus menebus obat dengan harga yang lumayan mahal tapi kabar gembira karena sudah diijinkan pulang jadi agak mendinglah daripada harus rawat inap yang tak terbayang berapa uang yang harus aku bayar. Dan sore itu kami pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang itu, aku bertanya pada Mas Aro, kemana dia pergi selama ini. “Mas, kamu selama ini kemana saja? Tidak ada kabar berita. Tidakkah kamu merindukan kami?”

“Pertanyaanmu tak perlu kujawab, Dik. Apakah aku tak rindu kalian? Setiap hari setiap saat wajah kalian terbayang di pelupuk mata. Setiap malam aku selalu berdoa untuk kalian. Ingin rasanya pulang, memuntahkan rasa kangen ini, tapi seketika itu teringat kau marah padaku, karena aku belum bekerja. Terbayang betapa kau berjuang mencari nafkah dan menghadapi orang-orang yang menagih hutang, membuat nyaliku ciut untuk pulang. Aku  merasa berdosa dan bersalah pada kalian, tapi aku tak berani pulang, Maafkan aku.”

“Lalu selama ini kamu kemana? Kamu tidur dimana?”

“Aku berusaha mencari pekerjaan, Dik.  Tidur di rumah teman, dari satu teman ke teman yang lain. Kadang di mushola atau di masjid.”

“Masya Allah, ada tempat yang nyaman di rumah Mas. Kenapa kamu tidak pulang ke rumah saja? Lalu bagaimana makanmu? Dari mana?”

“Dari belas kasihan orang. Kadang-kadang ikut bantu mengajar di pondok.”

“Maafkan aku, Mas. Memang aku marah padamu karena perbuatanmu membuatku menderita. Tapi aku tak bisa hidup tanpamu. Aku membutuhkanmu. Bagaimanapun keadaanmu, engkau adalah suamiku. Seberat apapun beban pikiranmu aku wajib menolongmu, aku harus mau menerima kenyataan bahwa ini ujian untuk kita, kita harus bersama melewatinya”, isakku dalam dekapannya.

Aku tak kuasa menahan air mata ini. Menjalani hari-hari tanpa dia di sisiku, rasanya berat hidup ini. Meski aku sombong bisa mencari nafkah sendiri, bisa membesarkan kedua anakku dengan gajiku sendiri dan menganggap suamiku tak ada gunanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan yang ada, aku tak bisa pungkiri bahwa aku membutuhkan kehadirannya, membutuhkan dia tempat aku mencurahkan isi hati dan perasaanku, tempat aku mengadu dan berbagi kesedihan. Meski pernah kedua orang tuaku meminta aku menggugat cerai pada Mas Aro, karena dia tidak bertanggung jawab, sudah sekian bulan tidak memberi nafkah, dan tak pernah pulang, tapi keinginan untuk bercerai darinya tak ada di hatiku. Aku masih mencintainya.

Seberat apapun ujian yang kuhadapi, aku yakin Allah akan menolongku. Kupasrahkan semua padaNya. Aku yakin aku bisa melewatinya. Meski perceraian halal dan aku berhak mengajukan gugat cerai karena tak dinafkahi lahir dan batin selama sekian bulan, tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku tak mau anak-anakku kehilangan sosok seorang ayah. Aku tak mau menjadi janda. Predikat yang tak pernah aku bayangkan. Meski aku mampu menghidupi anak-anakku tapi menyandang status janda membuatku takut menghadapi kenyataan hidup. Aku yakin meski bercerai itu halal tapi Allah membencinya. Apalagi hanya persoalan ekonomi.

Setiap malam aku bangun untuk mengambil air wudlu. Melakukan sholat tahajud menjadikan hatiku tenteram dan aku kuat menjalani ujian ini. Aku bersimpuh, memohon ampun, mengadu dan menangis hanya pada Allah. Kupanjatkan doa, kucurahkan semua isi hatiku, aku yakin Allah Maha Mendengar doa dari hamba yang teraniaya. Semoga Allah memberi petunjuk, apa yang mesti aku lakukan, menunjukkan jalan yang terbaik. Seandainya Mas Aro masih menjadi suamiku, tolong bawa pulang dia Ya Allah. Beri dia hidayah dan ingatkan padanya ada anak dan istri yang setia menunggunya. Ada keluarga kecil yang mengharap keberadaannya.

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...