Rabu, 21 Desember 2022

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya


Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membuatku malas, membuatku jengah, cuek dan tak peduli waktu yang telah kubuang percuma. Dalam hati aku kesal dengan keadaan ini, dengan diriku sendiri, dengan apa yang telah aku lakukan, yang aku alami minggu-miggu ini. Jujur, tak seharusnya aku begini. mengapa ini terjadi pada aku??

Bagai cerita dalam sinetron, bagai remaja yang kasmaran atau orang-orang yang lagi mabuk asmara, apakah yang kualami saat ini mengarah ke sana? Tanda-tanda aku suka dia ? 

Senin, 27 Juni 2022

Beri Aku Waktu (12)

"Pindah sekolah saja. Di SD Mekar Bangsa sini juga cukup bagus. Dulu Mbak Iin juga sekolah di situ", kata Pak Narji kakek Nicho.

"Kalau pindah sekolah berarti mendaftar lagi di kelas satu, Pak."

"Tidak apa-apa. Umur Nicho masih muda. Dulu waktu masuk sekolah juga belum genap tujuh tahun. Mumpung masih kecil biarlah Nicho matang dalam pendidikan dasarnya, daripada di tengah jalan di kelas empat atau lima dia kesulitan dalam belajar dan tertinggal kelas dengan teman-temannya, kan kasihan."

"Tapi pindah sekolah dan daftar lagi perlu biaya, Pak. Bayar uang gedung, bayar seragam dan lain-lain. "

"Sekolah di SD Mekar Bangsa juga lebih dekat daripada di SD Mulia Kasih sana. Kamu tidak terlalu repot untuk antar jemput dan aku atau ibumu bisa jemput Nicho. Di SD Mulia Kasih memang bagus, tapi pikirkan jauhnya, belum lagi kalau hujan, kalau ada kegiatan ekstra sore, kamu repot. Kalau di SD Mekar Bangsa ini Nicho cukup kamu antar dan bisa pulang sendiri. Coba pikirkan  lagi."

"Iya ya...Betul juga Pak. Hemat waktu dan tenaga. Baiklah nanti aku omong-omong sama maminya Nicho."

"Kamu sebagai seorang ayah, kepala keluarga harus bisa mengambil keputusan Bud. Boleh dibicarakan dengan istri. Itu memang harus. Segala permasalahan antara suami istri salaing terbuka, saling menghargai. Tapi keputusan tetap berada di tanganmu. Kamu pemimpin keluarga.  Jangan sampai istrimu mendominasi rumah tanggamu. Seorang lelaki sejati harus berani tampil ke depan, memimpin keluarga, menunjukkan tanggung jawab yang nyata, berani mengambil keputusan dan tidak tunduk di bawah ketiak istrinya."

Sore itu merupakan sore yang kesekian kalinya duduk bersama dua laki-laki berbeda generasi dalam permbicaraan yang hangat. Ditemani kopi dan sepiring lemper abon,  kudapan legit buatan Uti Mimi. Antara seorang bapak dan anak yang membicarakan masalah cucu kesayangan dari anak lelakinya yang bungsu. Nicho yang menjadi topik pembicaraan sore itu tidak naik kelas, setelah papinya Budi mengambil rapor di akhir pembelajaran. Ternyata Nicho selama ini di sekolah belum bisa mengikuti pembelajaran di kelas satu dan harus tinggal kelas untuk mengulang pembelajaran lagi. Dan Pak Narji, kakek Nicho memberi saran dan nasihat pada anaknya Budi dalam menyelesaikan masalah Nicho. 

Minggu, 26 Juni 2022

Beri Aku Waktu (11)

Penerimaan rapor dan mengetahui bila anaknya naik kelas adalah saat yang menggembirakan bagi orang tua. Keberhasilan dalam belajar di sekolah menjadi momen yang penting dalam kehidupan seorang anak. selain diukur secara kognitif, keterampilan dan psikomotoriknya, rapot seorang anak yang memiliki ranking terbaik di kelasnya masih menjadi prestice tersendiri bagi orang tua. Orang tua akan bangga bila anaknya mendapat peringkat tiga besar di kelas bahkan kalau bisa menduduki peringkat teratas.

"Pi, nanti jangan lupa ambil rapornya Nicho. Undangannya jam sepuluh. Aku nggak bisa keluar. Hari ini ada tamu dari rekanan kantor", kata Ervi pagi itu sambil merias wajahnya. Di depan cermin kecil pada bedak yang dia pakai, Ervi membentuk alis mata dengan pensil alisnya lalu menyikat dengan sikat alis. Wajahnya yang manis dan selalu tersenyum memang memiliki daya tarik tersendiri. Raut muka yang lebar, hidung yang tidak mancung dan tidak juga pesek, mata yang agak sipit membuat wajahnya tak bosan untuk memandang. Rambutnya sebahu, hitam dan ikal  menambah wajah perempuan itu anggun meski penampilannya sederhana.

"Meluangkan sebentar apa nggak bisa, Mi. Kamu bisa konsultasi perkembangan sekolahnya Nicho."

"Papi kan bisa keluar sebentar. Aku nggak bisa Pi."

Selesai merias wajah dan menyapukan sedikit blush on pada pipinya, tampilan Ervi ibu muda itu tampak segar. Sebagai seorang sales cutomer service pada perusahaan leasing otomotif terkemuka dia harus tampil menarik dan prima. Maka tak heran perusahaan menempatkan ibu muda yang masih langsing itu di posisi yang berhubungan dengan banyak orang. Sikapnya yang ramah tentu menarik pelanggan dan tamu untuk mendapatkan informasi dari perusahaannya.

"Biasanya ibu-ibu itu senang lho ambil rapor anaknya sambil ngerumpi  sesama kaum hawa. "

"Benar-benar nggak bisa, Pi. Aku berangkat dulu," kata Ervi mencium tangan suaminya. "Makasih...Papi mau mengambil rapor Nicho. Kelas satu B ya. Nanti aku WA."

"Hati-hati, Vi. Enggak usah ngebut. Jalanan padat enggak usah nerobos. Lewat jalan Soekarno-Hatta aja agak longgar, Jauh dikit gak papa", nasihat Budi Ervi. Dia tahu istrinya suka ngebut bila sudah mempet jam kantor. Budi selalu mengingatkan untuk berhati-hati di jalan. Jam kantor memang terkadang bikin jatungan. hitukpikik di jalan semua pengguna jalan saling berebut untuk bisa di empat tujuan dengan segera, sering melalaikan rambu lalu lintas, menerobos lampu kuning bahkan ada yang naik ke trotoar saat macet. 

Budi, seorang ayah sekaligus 'ibu' bagi Nicho anaknya. Sepanjang hari lebih banyak bersamanya dan kakek neneknya, daripada dengan maminya. Tak jarang Nicho kecil sudah tertelap saat maminya baru pulang dari kantor. Tapi Budi tak bisa melarang Ervi untuk tidak pulang malam ataupun berhenti bekerja. Penghasilannya jauh di bawah Ervi dan memang Ervi sangat membantu keuangan rumah tangganya. Maka Budi pun mengalah membereskan kebutuhan rumah tangga dan mengasuh Nicho. Karena posisinya finansial rumah tangganya hampir semuanya ditanggung Ervi.

Apakah dengan penghasilan istri yang lebih besar, Budi mau mengalah dan membiarkan istri lepas dari kewajibannya sebagai ibu? Apakah Ervi merasa Nicho sudah aman dan bahagia berada di sekeliling orang-orang yang mencintainya, sehingga dia 'njagake' ibu dan bapak mertuanya untuk mengasuh Nicho sementara dia bekerja? Toh selama ini adem ayem saja kehidupan rumah tangga yang sudah dijalaninya hampir tujuh tahun. Entahlah.

bersambung...


Beri Aku Waktu (10)

"Pi, besok ngantar aku agak gasik ya. Aku mau buat tugas kelompok sama temen aku di sekolah. Nanti pulangnya juga jemput agak sore nggak papa.", kata Nicho manja pada papinya.

Anak semata wayang Budi itu selalu menggelendot papinya. Seperti sore ini saat papinya duduk bersantai di ruang keluarga sambil menonton motor GP. Nicho lebih dekat dengan papinya ketimbang dengan Ervi, maminya. Meski usianya sudah remaja, anak umur lima belas tahun ini masih tampak kanak-kanak, dan senang bermanja dengan papinya, apalagi dia anak satu-satunya Budi, yang tentu saja Budi sangat menyayanginya

"Emang kamu mau berangkat jam berapa Cho?", tanya maminya. Mau bareng mami sekalian?"

"Mami berangkat jam berapa?"

"Kalau kamu mau gasik, mami bisa antar kamu dan mami akan ngantor sekalian. Kasihan kalau papimu bolak-balik, Cho."

"Tapi pulangnya dijemput papi ya. kemarin papi janji mau belikan Nicho HP baru."

"Nic HP mu kan masih bagus. Jangan banyak ngegame. Kamu sudah kelas sembilan. Waktunya bermain dikurangi. PAT sebentar lagi loh.."

"Tapi papi yang janji sendiri mau beliin Nicho HP baru, mam. Kan pakai uangnya papi. Nggak uangnya mami", rajuk Nicho.

"Iya, ya...besok papi jemput. Nontonnya jadi nggak seru nih.. Yang seru kalian berdua", sela Budi. 

"Makasih, Pi...Papi emang ganteng. Udah gitu baiiik banget sama Nicho. Nicho sayang ama Papi."

 Cup..cup..cup. Ciuman itu mendarat di pipi Budi. Sambil memeluk papinya. Nicho tak henti-hentinya mencium papinya. Kedekatan Nicho pada Budi lebih kentara daripada dengan Ervi maminya. Entah kenapa Ervi tak dapat menarik perhatian dari anaknya. 

Sebagai seorang ibu, apakah Ervi  tak merasa kalau anaknya lebih dekat dengan papinya ketimbang maminya sendiri. Sejak kecil, Ervi telah membentuk pola asuh yang salah pada anaknya. Dia terlalu sibuk bekerja mengejar kariernya daripada mengurus rumah. 

Sebelum memiliki rumah sendiri, Budi dan Ervi menumpang di rumah orang tua Budi. Budi yang anak ragil itu setelah menikah dengan Ervi memang belum memiliki rumah sendiri masih menumpang dengan kedua orang tuanya. Karena ketiga saudaranya sudah menikah semua dan tinggal di rumah mereka masing-masing maka kedua orang tuanya kesepian kalau ditinggal Budi. Maka mau tak mau Budi dan istrinya tinggal di rumah orang tua Budi.    

Nicho yang sejak kecil tinggal di keluarga itu, tentu menjadi cucu kesayangan nenek dan kakeknya. Sejak kecil menjadi pengasuhan nenek dan kakeknya. Apalagi Ervi yang sering lembur sampai malam, sedangkan Budi yang bekerja sebagai sales lebih banyak waktunya untuk merawat Nicho, maka tak heran kedekatan Nicho lebih condong ke papinya daripada Ervi maminya.

Mulai dari memandikan, menyuapi, mengantar sekolah sampai mau tidurpun, yang dicari Nicho kecil adalah papinya. Belajar ataupun membuat PR selalu bersama papinya. Dan dengan telaten dan penuh kasih sayang Budi mencurahkan perhatiannya pada Nicho. Bila papinya belum pulang atau ada meeting kantor, Nicho kecil selalu menanyakan pada neneknya kapan papinya pulang. Nicho kecil pun akhirnya lebih lengket sama papinya.

bersambung ...



Jumat, 24 Juni 2022

Beri Aku Waktu (9)

Seperti biasa, sehabis keliling kota untuk menagih  beberapa bengkel langganan kantornya, Budi akan pulang lebih awal. Sore itu sehabis Ashar, Budi sejenak mampir di warteg pinggir jalan yang biasa dia kunjungi. Namun karena sore itu waktu sudah menunjukkan pukul 15.10 WIB tentu warteg itu terlihat sepi. Hanya ada seorang laki-laki muda berumur 30 tahunan sedang membersihkan meja-meja warteg dan mengatur bangku dengan rapi. Rupanya laki-laki itu penjual warteg itu.

"Tumben Mas Budi sore amat mampir di sini", sapa lelaki itu dengan logat Tegal yang kental. Sampun dhahar apa belum Mas. Inyong ambilkan yah."

"Ehm..nggak usah Pak. Tadi sudah makan. Ini hanya mampir sebentar. Es teh aja saya mau."

"Cuaca panas begini memang enak minum es, Mas. Makan rasanya malas. Maunya minum terus. Apalagi Mas Budi dari kelilingan."

"Ha..ha..Iya tul Pak. Ini sudah jadi makanan sehari-hari. Sales kalau nggak keliling nggak dapat uang Pak. keliling aja kadang pusing, uang setoran pada nggak bayar. Tempo... aja mintanya."

"Sabar Mas. memang jaman sekarang lagi sulit. Stok barang habis suruh ngejok, eh..giliran ngangsur bilang uang gak ada, usaha sepilah, inilah, itulah..padahal duit ki ora kluruk ya, Mas. Nek deweke ngomong sepi, bisa sepi tenan yak, Mas" lanjutnya.

"Ha..ha..ha..Bapak bisa aja. Jangan nyepatanilah Pak. Mungkin memang lagi belum punya uang beneran. Kalau ada uang kan mungkin begitu. Pasti rak ketang sedikit kan ngangsur."

Itulah Budi. Dia tidak mau berprasangka buruk pada langganannya. Ibaratnya langganan juga ladangnya untuk bekerja. Kalau dia terlalu galak dan ngotot pada langganan bisa-bisa langganan pada lari meninggalkannya. Walau tak sedikit para bengkel langganan itu lebih dari tiga bulan baru lunas, melebihi waktu yang diberikan dari kantornya pada perjajian awal. Maka untuk menutupi setorannya Budi mau tidak mau memutar uang dengan meminjam pada bank atau teman kantornya dulu agar setoran dan target pelunasan dari kantornya tidak meleset. Dengan demikian reputasinya di kantor tetap baik, dan dia dapat bonus. Bonus yang dia peroleh nantinya dia gunakan untuk membayar hutang-hutangnya. 

Baginya bekerja adalah ibadah. Mencari nafkah adalah ibadah. Menolong orang juga bagian dari ibadah, maka dia tidak mau hidup yang hanya sebentar dibuat sulit, dia tidak mau menekan orang. Dia selalu nomboki dulu para langganannya agar dia mendapatkan bonus dan kantor tidak tahu kalau langganannya ada yang belum setor atau mengangsur. Bahkan sampai gaji bulanan yang dia gunakan untuk nomboki belum menutup target dan dia harus hutang  ke bank. Ambil kartu kredit, dan tentu saja ini berisiko. Karena mudahnya berbelanja, menggesek kartu kredit dan ambil uangnya dia lakukan, sekali, dua kali, sampai akhirnya dia terjerat lingkaran setan kartu kredit. Naudzubillah..

bersambung...

Selasa, 14 Juni 2022

Beri Aku Waktu (8)

 

Meski sudah divonis dokter bahwa kankernya memasuki stadium empat dan harapan untuk sembuh tipis, namun Budi tidak putus harapan. Dia tidak memperlihatkan rasa sa*kitnya meski terkadang saat rasa sakit itu menyerang, dia hanya menangis, memohon ampun pada Allah, memohon keikhlasan dan kesabaran dalam menerima ujian yang diberikan oleh Allah. 

Diambilnya air wudlu, dibasuhkan pada kedua mukanya seraya mengucapkan doa, Ya Allah seandainya sudah tiba waktuku untuk menghadapMu, seandainya harus aku tinggalkan kehidupan dunia beserta semua apa yang Engkau titipkan padaku, beri hamba keikhlasan dalam melepaskannya, beri hamba saat terbaik, amalan terbaik, dalam keadaan terbaik dan kondisi yang khusnul khotimah saat Engkau mencabut nyawaku. Ya Allah kapanpun Engkau akan memanggiiku, aku tak bisa menolak, namun selama masih ada waktu, mohon hamba bisa menambah amal yang akan hamba bawa menghadapMu. Ijinkan hamba untuk tetap bisa berbuat amal kebajikan pada sesama, ridloi setiap langkah dan perbuatan hamba. Dan senantiasa selalu berada di jalan yang Engkau benarkan.

*****

"Assalamualaikum...Besok minggu kamu di rumah nggak? Besok aku main ke rumahmu ya", kata Budi pada Nur kakaknya. 

"Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.. Iya, di rumah. Ada apa, Bud kok mau main ke rumah. Tumben". Jawab Nur kakak Budi. Nur Aisyah adalah kakak Budi yang nomor dua. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak laki-laki. Dia tinggal bersama suaminya di pinggiran kota. Seorang guru SMP yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengajar.

"Nggak ada apa-apa, Kak. Pingin ketemu Kak Nur aja. Besok minggu aku libur. Boleh kan main?"

"Boleh...Ajak juga Nicho sama maminya. Biar main sama Mas Huda dan Mas Lana di sini. Sudah besar tentnya ya."

"Ervi mungkin nggak ikut. Biasa...akhir bulan lembur di kantor. Kalau Nicho mau pasti."

"Kamu pingin makan apa, Bud. Biar aku masakan. Ikan bakar bumbu acar apa ayam betutu?"

"Ah....itu dia. Kak Nur tahu aja yan kumau. Aku kesana dalam rangka pingin makan yang spesial masakan Kak Nur. Ikan bakar bumbu acar aja. Ha..ha..ha.."

"Ha..ha..ha.. kamu pingin makan enak tapi maunya yang gratis kan? Moduslah.."

"Bukan begitu, Kak. Masakan ini nggak ada di tempat lain. Ikan bakar bumbu kecap sudah biasa. Tapi ikan bakar bumbu acar buatan Kak Nur ini spesial. Tidak ada yang jual. Ha..ha.. bumbunya meresap dan nikmat luar biasa. Bisa dua piring nambahnya."

"Ah...bilang aja Ervi gak bisa masak itu. Lagian kamu pingin makan yang enak, yang gratis dan ada temennya kan?"

"Ya iyalah... Makan itu akan nikmat kalau ada temannya. Sayang, minggu besok Ervi ngantor, jadi pingin makan sama koki cantik dan baik hati, seperti kakakku ini."

"Oke..oke..Jam berapa ke rumah, biar aku siapkan Bos."

"Jam sepuluhan ya Kak. Nanti bayar pakai BCA ya. Bank Central Akhirat. Ha..ha..ha. Udah ya, Assalamualaikum.."

"Waalaikum salam warohmatulahi wabarokatuh."

Begitulah Budi. Pembawaannya selalu ceria. Seakan tak ada beban dalam pikirannya. Padahal sebenarnya, Ervi istrinya tidak pandai memasak, bahkan hampir tak pernah masak. Sekedar menemani makan di mejapun tak pernah. Tapi Budi tak mau membicarakan kekurangan istrinya, apalagi di depan orang lain. Budi selalu menutupi kekurangan istrinya dengan membicarakan hal-hal yang baik tentang istrinya. Walau sebenarnya semua saudara dan kakak-kakaknya tahu, keburukan dan sifat istrinya, tapi Budi berusaha untuk bersabar.

Kurang pandai dalam melayani suaminya, kurang perhatian dan terkesan cuek. Apalagi sekarang Budi sakit seperti ini. Yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari seorang istri, yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita. Ervi yang semakin menjauh, menyibukkan dirinya dengan pekerjaan dan jarang memperhatikan suaminya juga anaknya. Keluarga yang hambar tak tergambar kehangatan  jauh dari kemesraan meski mereka baik-baik saja. Apa karena penyakit yang diderita Budi hingga Ervi bersikap seperti ini ?

Beri Aku Waktu (7)


Tiga hari menjalani kemoterapi di RS Karyadi dijalani Budi seperti biasanya. Teman-teman kantor, teman sekolah SD dan SMP dulu juga menjenguknya. Memang Budi adalah orang yang periang dan ramah, sehingga dia memiliki banyak teman.

Budi anak yang mudah bergaul dan ringan tangan untuk membantu teman yang membutuhkan bantuannya. Dia tidak memandang usia dan kedudukan, apa pekerjaannya, si kaya atau orang tidak punya semua berteman baik dengannya. Satu keyakinannya, bisa membantu orang lain bisa membuatnya bahagia. Budi tidak memaksa untuk membalas kebaikan yang dia berikan. Bila ada orang  yang meminjam uang padanya, kapan pun  dan berapa pun dia dibayar dia akan terima. Bahkan terkadang dia mengikhlaskan bila peminjam tak membayarnya. Dia berkeyakinan,  ketika kita menolong seseorang jangan terlalu berharap orang tersebut akan balik membalas menolong kita. Kita harus ikhlas, karena dimanapun dan kapanpun ketika kita membutuhkan pertolongan orang lain, bisa jadi yang menolong kita adalah orang lain yang tidak kita kenal. 

Budi anak yang taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Dia rajin beribadah, sholat lima waktu tak pernah dia tinggalkan. Sesibuk apapun dia selalu berusaha untuk sholat di awal waktu. Karena baginya sholat adalah kebutuhan manusia, bukan sekear menjalankan kewajiban, tetapi lebih dari itu sholat adalah panggilan dari Allah, dimana kita dipanggil oleh Sang Pemilik sesegera mungkin datang dan bersujud menghadapNya dan tak perlu menundanya. Dengan menundanya berarti kita lebih mementingkan urusan dunia daripada menuju kebahagiaan bertemu dengan Sang Pemilik alam raya. Berusaha menggapai urusan akhirat maka urusan duniapun akan tercapai juga. Ibaratnya dunia adalah tempat kita singgah sebentar sekedar minum sedangkan akhirat adalah negeri yang kita tuju selamanya. 

Tiga hari menjalani kemoterapi di RS Karyadi sudah menjadi makanan kesehariannya. Dia selalu siap bila dokter sudah menjadwalkannya untuk kemo. Kata dokter kita berusaha melawan penyakit, memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker dengan melakukan kemoterapi, namun semua takdir dan kesembuhan ada di tangan Allah SWT. Meski sudah dikatakan terlambat karena sudah mencapai stadium empat, namun teruslah berdoa memohon diberi kekuatan dan mukjizat dari Sang Khaliq. Tidak ada yang mustahil bila Allah sudah berkehendak maka apapun yang kita rasa tidak mungkin, amatlah mudah bagi Allah.


Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...