Jumat, 24 Juni 2022

Beri Aku Waktu (9)

Seperti biasa, sehabis keliling kota untuk menagih  beberapa bengkel langganan kantornya, Budi akan pulang lebih awal. Sore itu sehabis Ashar, Budi sejenak mampir di warteg pinggir jalan yang biasa dia kunjungi. Namun karena sore itu waktu sudah menunjukkan pukul 15.10 WIB tentu warteg itu terlihat sepi. Hanya ada seorang laki-laki muda berumur 30 tahunan sedang membersihkan meja-meja warteg dan mengatur bangku dengan rapi. Rupanya laki-laki itu penjual warteg itu.

"Tumben Mas Budi sore amat mampir di sini", sapa lelaki itu dengan logat Tegal yang kental. Sampun dhahar apa belum Mas. Inyong ambilkan yah."

"Ehm..nggak usah Pak. Tadi sudah makan. Ini hanya mampir sebentar. Es teh aja saya mau."

"Cuaca panas begini memang enak minum es, Mas. Makan rasanya malas. Maunya minum terus. Apalagi Mas Budi dari kelilingan."

"Ha..ha..Iya tul Pak. Ini sudah jadi makanan sehari-hari. Sales kalau nggak keliling nggak dapat uang Pak. keliling aja kadang pusing, uang setoran pada nggak bayar. Tempo... aja mintanya."

"Sabar Mas. memang jaman sekarang lagi sulit. Stok barang habis suruh ngejok, eh..giliran ngangsur bilang uang gak ada, usaha sepilah, inilah, itulah..padahal duit ki ora kluruk ya, Mas. Nek deweke ngomong sepi, bisa sepi tenan yak, Mas" lanjutnya.

"Ha..ha..ha..Bapak bisa aja. Jangan nyepatanilah Pak. Mungkin memang lagi belum punya uang beneran. Kalau ada uang kan mungkin begitu. Pasti rak ketang sedikit kan ngangsur."

Itulah Budi. Dia tidak mau berprasangka buruk pada langganannya. Ibaratnya langganan juga ladangnya untuk bekerja. Kalau dia terlalu galak dan ngotot pada langganan bisa-bisa langganan pada lari meninggalkannya. Walau tak sedikit para bengkel langganan itu lebih dari tiga bulan baru lunas, melebihi waktu yang diberikan dari kantornya pada perjajian awal. Maka untuk menutupi setorannya Budi mau tidak mau memutar uang dengan meminjam pada bank atau teman kantornya dulu agar setoran dan target pelunasan dari kantornya tidak meleset. Dengan demikian reputasinya di kantor tetap baik, dan dia dapat bonus. Bonus yang dia peroleh nantinya dia gunakan untuk membayar hutang-hutangnya. 

Baginya bekerja adalah ibadah. Mencari nafkah adalah ibadah. Menolong orang juga bagian dari ibadah, maka dia tidak mau hidup yang hanya sebentar dibuat sulit, dia tidak mau menekan orang. Dia selalu nomboki dulu para langganannya agar dia mendapatkan bonus dan kantor tidak tahu kalau langganannya ada yang belum setor atau mengangsur. Bahkan sampai gaji bulanan yang dia gunakan untuk nomboki belum menutup target dan dia harus hutang  ke bank. Ambil kartu kredit, dan tentu saja ini berisiko. Karena mudahnya berbelanja, menggesek kartu kredit dan ambil uangnya dia lakukan, sekali, dua kali, sampai akhirnya dia terjerat lingkaran setan kartu kredit. Naudzubillah..

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...