Minggu, 26 Juni 2022

Beri Aku Waktu (11)

Penerimaan rapor dan mengetahui bila anaknya naik kelas adalah saat yang menggembirakan bagi orang tua. Keberhasilan dalam belajar di sekolah menjadi momen yang penting dalam kehidupan seorang anak. selain diukur secara kognitif, keterampilan dan psikomotoriknya, rapot seorang anak yang memiliki ranking terbaik di kelasnya masih menjadi prestice tersendiri bagi orang tua. Orang tua akan bangga bila anaknya mendapat peringkat tiga besar di kelas bahkan kalau bisa menduduki peringkat teratas.

"Pi, nanti jangan lupa ambil rapornya Nicho. Undangannya jam sepuluh. Aku nggak bisa keluar. Hari ini ada tamu dari rekanan kantor", kata Ervi pagi itu sambil merias wajahnya. Di depan cermin kecil pada bedak yang dia pakai, Ervi membentuk alis mata dengan pensil alisnya lalu menyikat dengan sikat alis. Wajahnya yang manis dan selalu tersenyum memang memiliki daya tarik tersendiri. Raut muka yang lebar, hidung yang tidak mancung dan tidak juga pesek, mata yang agak sipit membuat wajahnya tak bosan untuk memandang. Rambutnya sebahu, hitam dan ikal  menambah wajah perempuan itu anggun meski penampilannya sederhana.

"Meluangkan sebentar apa nggak bisa, Mi. Kamu bisa konsultasi perkembangan sekolahnya Nicho."

"Papi kan bisa keluar sebentar. Aku nggak bisa Pi."

Selesai merias wajah dan menyapukan sedikit blush on pada pipinya, tampilan Ervi ibu muda itu tampak segar. Sebagai seorang sales cutomer service pada perusahaan leasing otomotif terkemuka dia harus tampil menarik dan prima. Maka tak heran perusahaan menempatkan ibu muda yang masih langsing itu di posisi yang berhubungan dengan banyak orang. Sikapnya yang ramah tentu menarik pelanggan dan tamu untuk mendapatkan informasi dari perusahaannya.

"Biasanya ibu-ibu itu senang lho ambil rapor anaknya sambil ngerumpi  sesama kaum hawa. "

"Benar-benar nggak bisa, Pi. Aku berangkat dulu," kata Ervi mencium tangan suaminya. "Makasih...Papi mau mengambil rapor Nicho. Kelas satu B ya. Nanti aku WA."

"Hati-hati, Vi. Enggak usah ngebut. Jalanan padat enggak usah nerobos. Lewat jalan Soekarno-Hatta aja agak longgar, Jauh dikit gak papa", nasihat Budi Ervi. Dia tahu istrinya suka ngebut bila sudah mempet jam kantor. Budi selalu mengingatkan untuk berhati-hati di jalan. Jam kantor memang terkadang bikin jatungan. hitukpikik di jalan semua pengguna jalan saling berebut untuk bisa di empat tujuan dengan segera, sering melalaikan rambu lalu lintas, menerobos lampu kuning bahkan ada yang naik ke trotoar saat macet. 

Budi, seorang ayah sekaligus 'ibu' bagi Nicho anaknya. Sepanjang hari lebih banyak bersamanya dan kakek neneknya, daripada dengan maminya. Tak jarang Nicho kecil sudah tertelap saat maminya baru pulang dari kantor. Tapi Budi tak bisa melarang Ervi untuk tidak pulang malam ataupun berhenti bekerja. Penghasilannya jauh di bawah Ervi dan memang Ervi sangat membantu keuangan rumah tangganya. Maka Budi pun mengalah membereskan kebutuhan rumah tangga dan mengasuh Nicho. Karena posisinya finansial rumah tangganya hampir semuanya ditanggung Ervi.

Apakah dengan penghasilan istri yang lebih besar, Budi mau mengalah dan membiarkan istri lepas dari kewajibannya sebagai ibu? Apakah Ervi merasa Nicho sudah aman dan bahagia berada di sekeliling orang-orang yang mencintainya, sehingga dia 'njagake' ibu dan bapak mertuanya untuk mengasuh Nicho sementara dia bekerja? Toh selama ini adem ayem saja kehidupan rumah tangga yang sudah dijalaninya hampir tujuh tahun. Entahlah.

bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...