Sabtu, 15 Januari 2022

Ujian Lima Tahun Perkawinan (13)

 


Rasanya agak lega dan bisa bernafas setelah Bu Widya membantu melunasi hutang-hutang suamiku. Aku berharap ini tak akan terulang lagi selama perjalanan biduk rumah tangga kami. Hari-hari yang telah lewat biarlah menjadi pengingat bahwa untuk menuju keberhasilan, kesuksesan harus berjuang dan berdoa. Semua rintangan dan hambatan menjadikan cambuk agar kita  mawas diri, tapi terus semangat dan yakin, kita berusaha dan berdoa, Allah yang menentukan. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan. Sebagai orang yang beriman, tentu kita bertawakal kepadaNya dan berkhusnudon bahwa rencana Allah lebih indah dari yang kita kira.

Sudah lama kami tidak pulang mudik. Dua tahun terakhir dari lima tahun usia perkawinan kami, kami amat jarang pulang ke kampung. Entah kenapa tiba-tiba aku rindu emak mertua yang desa. Hampir dua lebaran ini kami tak mengunjunginya. Selain tidak ada ongkos untuk pulang ke desa, kami pun malu dengan apa yang dialami Mas Aro. Karena sanak saudara di kampung sudah mendengar tentang keadaan kami dan sangat menyayangkan apa yang dilakukan Mas Aro. Aku tidak ingin Mas Aro yang baru bangun dari keterpurukannya kembali sakit dan bersedih demi melihat sanak saudara di kampung menghujamnya dan memusuhinya. Aku ingin menjaga hatinya, ingin menjaga perasaannya.

Meski  perbuatan Mas Aro telah melukai hatiku, aku tak tega juga bila suamiku tersudut oleh pertanyaan-pertanyaan mereka yang tentu saja aku sebagai istrinya akan disangkutpautkan dan aku tidak mau terjadi kesalahpahaman antara aku, Mas Aro dan keluarga besar suamiku. Sesekali waktu kami hanya bisa telpon emak, mohon maaf dan minta doa restu dari beliau lewat Budhe Sarti, kakak tertua Mas Aro yang bisa kami percaya. Budhe Sarti tidak keberatan saat kami memintanya untuk menyampaikan permohanan maaf dan salam kami untuk emak saat kami  menelponnya. Kebetulan rumah Budhe Sarti berseberangan dengan rumah Emak. Maafkan kami, Mak. Kami belum bisa pulang, doakan anakmu ini, istri dan keluarganya selalu sehat, dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Doakan kami bisa pulang secepatnya. Kami rindu emak, kami sangat mencintai emak.

Pernah suatu malam aku bermimpi ketemu Emak. Emak datang ke rumah dan menyapu lantai rumah kami sampai ke halaman  depan. Ketika aku tanya, mengapa Emak menyapu rumahku? Jawab Emak sedih, “Biar bersih Nduk, rumahmu kotor. Biarlah Emakmu membantu menyapu.” Aku tak tak tahu arti dari mimpiku. Yang pasti saat itu sangat rindu Emak, sosok wanita yang telah melahirkan anak laki-laki yang kini menjadi suamiku. Sosok sederhana seorang ibu yang hingga usia separuh abad masih rajin bekerja di sawah, hidup menjanda sekian puluh tahun, semenjak Mas Aro duduk di kelas dua SD. Membesarkan enam orang anaknya sendiri. Sosok wanita yang kuat dan tegar, yang patut aku contoh. Bukti kesetiaan pada almarhum suamianya dan tanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya. Meski anak-anaknya tak bisa bersekolah tinggi, tak mengenyam pendidikan tinggi, tapi mengenyam pendidikan karakter dan pelajaran kehidupan yang luar biasa yang ditanamkannya.

Aku teringat kata-kata Emak saat sebelum aku dan Mas Aro menikah. “Jadilah istri yang bisa melayani suami, Nduk.”  Kehidupan rumah tanggaku akan penuh ujian, terlebih dalam soal keuangan.

“Kowe kudu pinter ngecake duit.  Senajan uripmu rekoso, sok mben uripmu mulyo, amarga daringanmu kebak. Mulo kowe kudu setiti, nyisihna duit supoyo bisa nyukupi kebutuhan liyane.”  kata Emak dalam Bahasa Jawa, yang artinya bahwa aku harus pintar mengelola keuangan rumah tangga kami. Meskipun hidupku susah sekarang, namun esok masa depanku bahagia dan mulia, karena  ‘daringan’ (Bahasa Jawa yang artinya tempat beras) yang kumiliki penuh. Jadi ini merupakan pertanda bahwa aku harus menyisihkan uang atau menabung sisa uang belanja agar dapat mencukupi kebutuhan atau membeli kebutuhan lain selain kebutuhan pangan dan sandang. Tentu ini bukan asal bicara, tapi berdasarkan perhitungan weton  (tanggal lahir) kami.

Dalam adat Jawa, apabila pasangan calon pengantin akan melangsungkan pernikahan, orang tua masing-masing akan mencari hari yang baik saat melakukan ijab qobul pernikahan dengan menghitung weton masing-masing. Mas Aro yang lahir hari Minggu Kliwon dan aku lahir Minggu Wage memiliki jumlah angka yang lebih tinggi.  Minggu wage jumlahnya song0 (sembilan) dan minggu kliwon jumlahnya telulas (tiga belas). Bila jumlah wetonku dan weton Mas Aro dijumlahkan hasilnya rolikur (dua puluh dua). Hitungan Jawa ini artinya suamiku akan menang dan tetap menjadi pemimpin keluarga.  Dan wetonku yang jumlahnya di bawah jumlah weton Mas Aro, akan banyak mengalah. Sehingga meskipun terjadi benturan dalam perjalanan rumah tangga kami, diantara kami ada salah satu akan memahami yang lain. Dan ini sisi baik menurut hitungan weton  tadi.

Angka dua puluh dua dalam rumah tangga disebut ‘topo’ (bertapa) yang artinya pasangan ‘topo’ akan mengalami kesusahan di awal pernikahan karena masih saling memahami tapi akan bahagia pada akhirnya. Masalah yang dihadapi bisa masalah ekonomi dan lainnya. Nah, setelah memiliki anak dan cukup lama berumah tangga akan sukses dan bahagia.

bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...