Meski sudah divonis dokter bahwa kankernya memasuki stadium empat dan harapan untuk sembuh tipis, namun Budi tidak putus harapan. Dia tidak memperlihatkan rasa sa*kitnya meski terkadang saat rasa sakit itu menyerang, dia hanya menangis, memohon ampun pada Allah, memohon keikhlasan dan kesabaran dalam menerima ujian yang diberikan oleh Allah. Diambilnya air wudlu, dibasuhkan pada kedua mukanya seraya mengucapkan doa, Ya Allah seandainya sudah tiba waktuku untuk menghadapMu, seandainya harus aku tinggalkan kehidupan dunia beserta semua apa yang Engkau titipkan padaku, beri hamba keikhlasan dalam melepaskannya, beri hamba saat terbaik, amalan terbaik, dalam keadaan terbaik dan kondisi yang khusnul khotimah saat Engkau mencabut nyawaku. Ya Allah kapanpun Engkau akan memanggiiku, aku tak bisa menolak, namun selama masih ada waktu, mohon hamba bisa menambah amal yang akan hamba bawa menghadapMu. Ijinkan hamba untuk tetap bisa berbuat amal kebajikan pada sesama, ridloi setiap langkah dan perbuatan hamba. Dan senantiasa selalu berada di jalan yang Engkau benarkan.
*****
"Assalamualaikum...Besok minggu kamu di rumah nggak? Besok aku main ke rumahmu ya", kata Budi pada Nur kakaknya.
"Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.. Iya, di rumah. Ada apa, Bud kok mau main ke rumah. Tumben". Jawab Nur kakak Budi. Nur Aisyah adalah kakak Budi yang nomor dua. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak laki-laki. Dia tinggal bersama suaminya di pinggiran kota. Seorang guru SMP yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengajar.
"Nggak ada apa-apa, Kak. Pingin ketemu Kak Nur aja. Besok minggu aku libur. Boleh kan main?"
"Boleh...Ajak juga Nicho sama maminya. Biar main sama Mas Huda dan Mas Lana di sini. Sudah besar tentnya ya."
"Ervi mungkin nggak ikut. Biasa...akhir bulan lembur di kantor. Kalau Nicho mau pasti."
"Kamu pingin makan apa, Bud. Biar aku masakan. Ikan bakar bumbu acar apa ayam betutu?"
"Ah....itu dia. Kak Nur tahu aja yan kumau. Aku kesana dalam rangka pingin makan yang spesial masakan Kak Nur. Ikan bakar bumbu acar aja. Ha..ha..ha.."
"Ha..ha..ha.. kamu pingin makan enak tapi maunya yang gratis kan? Moduslah.."
"Bukan begitu, Kak. Masakan ini nggak ada di tempat lain. Ikan bakar bumbu kecap sudah biasa. Tapi ikan bakar bumbu acar buatan Kak Nur ini spesial. Tidak ada yang jual. Ha..ha.. bumbunya meresap dan nikmat luar biasa. Bisa dua piring nambahnya."
"Ah...bilang aja Ervi gak bisa masak itu. Lagian kamu pingin makan yang enak, yang gratis dan ada temennya kan?"
"Ya iyalah... Makan itu akan nikmat kalau ada temannya. Sayang, minggu besok Ervi ngantor, jadi pingin makan sama koki cantik dan baik hati, seperti kakakku ini."
"Oke..oke..Jam berapa ke rumah, biar aku siapkan Bos."
"Jam sepuluhan ya Kak. Nanti bayar pakai BCA ya. Bank Central Akhirat. Ha..ha..ha. Udah ya, Assalamualaikum.."
"Waalaikum salam warohmatulahi wabarokatuh."
Begitulah Budi. Pembawaannya selalu ceria. Seakan tak ada beban dalam pikirannya. Padahal sebenarnya, Ervi istrinya tidak pandai memasak, bahkan hampir tak pernah masak. Sekedar menemani makan di mejapun tak pernah. Tapi Budi tak mau membicarakan kekurangan istrinya, apalagi di depan orang lain. Budi selalu menutupi kekurangan istrinya dengan membicarakan hal-hal yang baik tentang istrinya. Walau sebenarnya semua saudara dan kakak-kakaknya tahu, keburukan dan sifat istrinya, tapi Budi berusaha untuk bersabar.
Kurang pandai dalam melayani suaminya, kurang perhatian dan terkesan cuek. Apalagi sekarang Budi sakit seperti ini. Yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari seorang istri, yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita. Ervi yang semakin menjauh, menyibukkan dirinya dengan pekerjaan dan jarang memperhatikan suaminya juga anaknya. Keluarga yang hambar tak tergambar kehangatan jauh dari kemesraan meski mereka baik-baik saja. Apa karena penyakit yang diderita Budi hingga Ervi bersikap seperti ini ?