Jumat, 27 Agustus 2021

Masa-masa Indah Bersamamu

Perkawinan adalah menyatukan dua hati yang berbeda, sejumlah latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan yang berbeda. Tentu saja dua insan akan saling menyesuaikan dan mengalah, menyingkirkan ego, menomorduakan keinginan kita. Saling kompromi, menghargai pendapat  dan menghindari perselisihan. Boleh jadi kebiasan yang sudah mendarah daging bagi kita tidak disukai oleh pasangan kita, dan sebaliknya. Ada baiknya untuk hal-hal seperti ini kita bicarakan baik-baik dengan pasangan. Jangan sampai hal sepele mengganjal di hati dan bisa merusak hubungan suami istri.

Siang itu udara cukup panas. Setelah selesai mengajar ingin rasanya segera pulang dan istirahat sebentar sebelum nanti berangkat kuliah ke Unnes. Ya aku memang mengambil Akta IV di FIP Universitas Semarang. Ini adalah kewajibanku untuk mengambil Akta IV bila aku berkomitmen mengajar karena latar belakang pendidikan yang kumiliki nonkeguruan, jadi aku harus punya “SIM” (Surat Ijin Mengajar). Kebetulan Yayasan dimana aku bekerja memfasilitasi dan memberi kelonggaran aku untuk melanjutkan mengambil jurusan Akta IV dengan biaya dari yayasan. Tawaran ini kusambut dengan senang hati karena aku menilai ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan SIM dengan gratis sambil aku tetap bekerja.

Bergelayutan dan berdesak-desakan dalam bus kota sudah menjadi rutinitasku semenjak aku harus melanjutkan studi mengambil Alta IV di Unnes (Universitas Negeri Semarang). Jarak antara rumah dan kampus cukup jauh dan perjalanan naik turun, karena kampus Unnes terletak di daerah pegunungan di ujung selatan Kots Semarang. Kuliah dilakukan sore hari setelah mengajar dan ini cukup membuatku lelah. Selain mengajar dan mempersiapkan materi, aku harus menyelesaikan tugas-tugas kampus. Ada beban yang harus aku pertanggungjawabkan, karena studi ini dibiayai oleh yayasan, maka aku harus lulus dan mempunyai nilai baik. Aku harus bisa menyelesaikan studi Akta IV ini demi karierku di masa depan dan agar aku tidak mengganti biaya studi, karena sebelumnya pihak yayasan memberi perjanjian yang harus aku setujui untuk mengembalikan sekuruh biaya studi bila tidak lulus.

Tiba-tiba dalam bus yang sesak ini perutku mual, rasanya mau muntah. Udara panas dan bau keringat orang di samping kanan kiriku membuat aku semakin mual dan mulai pusing. Berkali-kali kucoba umtuk menahan dengan menghisap permen yang sengaja aku bawa saat bepergian berkenadaraan dengan angkuan umum. Permen yang kukulum memang sedikit membantu agar perutku  tidak mual dan memberikan rasa nyaman. Minyak kayu putih sengaja kuoleskan dan kuhirup untuk memberi terapi ketenangan  dan menolak bau tajam dari keringat orang-orang di sekitarku. Tapi, ah…rasa mual in tetap ada. Rasanya pingin turun dari bus itu dan istirahat sebentar untuk menghirup udara segar. Sungguh hampir aku tak bisa menahan mual ini. Kucoba memejamkan mata, agar rasa pusing tidak semakin menjadi.

“MT Haryono…MT Haryono…siap-siap…”, tiba-tiba kernet angkot bus itu berteriak. Alhamdulillah…akhirnya tempat yang aku tuju sudah mendekat.

“Kiri, Mas’ , jawabku singkat.

Alhamdulillah…akhirnya penderitaanku berakhir…lega rasanya bisa keluar dari angkot itu. Kutarik nafas panjang setelah kakiku menginjak turun. Berjalan perlahan, kuayunkan langkah menyusuri gang sempit menuju rumah ibu. Hari ini rasanya lelah sekali. Sudah menjadi kebiasaan baru, setelah selesai mengajar atau pulang dari kampus aku selalu mampir dulu ke rumah ibu. Setiap  sore Mas Aro selalu menjemputku untuk pulang ke rumah. Aku memang tidak langsung pulang ke rumah sendiri karena memang motor yang kami miliki cuma satu dan itu dipakai Mas Aro. Setiap  hari Mas Aro mengantar dan menjemputku pulang. Jadi kami berangkat dan pulang bersama-sama. Ini mengasyikan, karena biasanya dalam perjalanan pulang kita bisa mampir sekedar makan atau beli sesuatu yang bisa kita nikmati di rumah.

“Kamu tampak pucat, Dik. Kamu sakit?” tanya Mas Aro ketika sore itu dia datang hendakk menjemputku pulang.

“Gak tahu ni Mas. Dari perjalanan pulang dari kampus tadi, rasanya perutku mual terus. Pingin muntah. Dan kepala ini nyut-nyutan. Kayaknya aku mabok waktu di angkot tadi. Tapi gak bisa muntah. Apa kecapekan kali ya.”

“Ya udah kita pulang aja gak usah mampir-mampir ya. Kebetulan ini saya bawa makanan kesukaanmu. Tadi di kantor ada ibu-ibu nawarkan ini. Kata ibu-ibu tadi, kalau bapak sayang istri, beli satu buat istri tercinta di rumah. ya udah aku beli ini untukmu, ” kata Mas Aro sambil tersenyum.

Malam itu kami langsung pulang ke rumah tidak mampir kemana-mana. Melihat keadaanku yang lemas dan pucat, Mas Aro membuatkan teh hangat untukku. Esoknya aku cerita sama ibu. Kata ibu, mungkin aku hamil, karena salah satu tanda-tanda orang hamil rasanya perut mual, mau muntah apalagi mencium bau yang tidak disukai atau menyengat. Aku baru ingat, tanggal awal-awal begini biasanya datang bulan, ini sudah telat hampir dua minggu. Apakah ini berarti aku hamil ya. Kalau ini benar, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Engkau menitipkan amanat buat kami. Kabar baik ini akan kusampaikan pada Mas Aro. Tentu dia senang sekali.

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...