Rabu, 25 Agustus 2021

Saling percaya dan menjaga (4)

Sepuluh hari menjelang pernikahan aku dengan Mas Aro, datang musibah . Hari itu tanggal 29 Mei 1997. Aku ingat dan tak akan kulupa seumur hidup. Mas Aro kecelakaan saat perjalanan pulang dari desanya menuju kota ini. Hari itu, kamis bertepatan dengan pemilu presiden. Hari minggu sebelumnya 25 Mei 1997 Mas Aro pulang ke desa. Selain akan bersilaturahmi dengan keluarga, ada keperluan lainnya yang tidak bisa diwakilkan. Sebenarnya berat juga melepas Mas Aro waktu dia minta ijin mau menjenguk keluarga di desa untuk sekian hari. Tapi biarlah, mungkin dia kangen juga dengan keluarga di desa, pikir aku.

Kata orang tua, menurut adat Jawa, menjelang pernikahan ada baiknya tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat gagalnya pernikahan, misal bepergian jauh, atau “dipingit”. Pingit di sini mengandung arti juga antara calon pengantin pria tidak boleh bertemu dengan calon pengantin wanita selama beberapa waktu, biasanya 1-2 minggu. Hal ini bertujuan agar calon pengantin wanita dapat mempersiapkan diri dan beristirahat sehingga pada hari “H”akan tampak segar dan bahagia karena sekian lama tidak bertemu dengan calon suaminya. Pingit juga bertujuan untuk memupuk rasa saling percaya dan saling menjaga hubungan kedua keluarga sebelum mereka menjadi satu keluarga.

Malang tak bisa dihindari untung tak bisa diraih, begitu pepatah mengatakan. Kita tidak bisa mengetahui nasib apa yang akan menimpa kita. Semua adalah rahasia Allah. Kita hanya berusaha, tapi Tuhan yang menentukan. Mas Aro mengalami kecelakaan tepat sepuluh hari menjelang pernikahan kami. Motor yang dinaikinya diserempet bus, dan dia terlempar di pinggir jalan. Pagi di hari naas itu, Mas Aro berbocengan dengan adiknya, rencana mau balik ke kota ini. Karena masih pagi buta habis subuh, jalanan masih sepi, belum banyak yang lewat, maka keduanya tidak ada yang menolong. terlantar di pinggir jalan.  Mas Aro pingsan dengan luka di kepala, sedang adik Mas Aro hanya luka ringan. Adik Mas Aro berusaha mencari pertolongan dengan mencoba menghentikan setiap motor atau kendaraan yang lewat pada saat itu, tapi tak satupun yang mau berhenti dan mau memberikan pertolongan. Mungkin mereka takut karena kejadian laka lantas tabrak lari di luar kota, mereka takut berurusan panjang dengan pihak kepolisian. Hingga akhirnya setelah kurang lebih satu jam, sekitar pukul 06.00 wib ada mobil angkot dari pedagang yang akan menuju ke kota mau dihentikan dan memberi pertolongan, membawa Mas Aro dan adiknya ke rumah sakit.

Sampai di RSU Karyadi Semarang di bagian UGD, Mas Aro belum sadarkan diri. Baru setelah diperiksa dan dilakukan penanganan awal, Mas Aro sadarkan diri. Saat sadar, yang pertama kali diingatnya adalah aku, calon istrinya dan tanggal pernikahan kami yang sudah dekat.

“Dimana aku. Mana calon istriku. Mengapa aku di sini” teriak Mas Aro. Orang-orang di sekitar dan dokter yang menanganinya menenangkannya. Dijelaskan oleh adiknya, bahwa dia mengalami kecelakaan tersenggol bus malam ketika mau pulang ke kota ini, lalu dibawa ke RSU ini.

“Lalu bagaimana dengan penikahanku yang hanya beberapa hari lagi?” tanyanya. “Aku tidak mau gagal. Aku mau menikah dengan Nunung,” tangisnya.

“Sudahlah itu dipikirkan nanti, Pernikahan itu bisa ditunda. Kamu tetap menikah dengan Mbak Nunung. Yang penting sekarang kamu sembuh dulu. Nanti biar aku mengabari Mbak Nunung”, kata adiknya sambil berusaha menenangkan Mas Aro.

*****

Berita musibah di hari itu bagaikan sambaran petir dahsyat yang kurasakan. Seakan langit runtuh dan aku tak bisa membayangkan pernikahan yang tinggal beberapa hari di depan mata harus gagal. Bukan saja hanya kecewa dan sedih, tapi keraguan di hati sampai kapan aku menunggu kesembuhan Mas Aro, dan kami bisa menikah. Melihat kondisi Mas Aro, kata dokter cukup lama dan perlu ketelatenan agar cepat sembuh normal. karena luka di bagian kepala dan mengalami sedikit benturan.

Akhirnya tanggal pernikahan kami yang rencananya tanggal 8 Juni 1997 harus dibatalkan, menunggu hingga kesembuhan Mas Aro, entah kapan. Padahal persiapan sudah 90 persen, mulai dari gedung, rias dan baju pengantin, catering, undangan dan pernak-pernik seserahan sudah siap. Tapi bagaimana lagi …aku tidak jadi menikah di hari itu. Hari yang kutunggu-tunggu, hari yang kuimpikan, lenyap begitu saja, berganti dengan duka.Tapi di balik musibah ini, aku yakin ada hikmah di dalamnya. Aku yakin semua ini sudah kehendak Allah. Allah memberikan yang terbaik untukku, untuk kami. Allah akan mengganti hari ini dengan hari lain yang lebih indah.

Aku berusaha bersabar, tawakal, berserah diri pada Allah. Aku menerima semua ini dengan ikhlas. Aku harus semangat, menunggu dan merawat kesembuhan Mas Aro. Kuurus semua biaya pengobatan Mas Aro, dan jaminan sosial dari perusahaan tempat mas Aro bekerja. Keluargaku, bapak dan ibu prihatin dan juga sedih, tapi mereka tetap menyemangati aku dan membesarkan hatiku. Aku tetap bisa menikah dengan Mas Aro, hanya tinggal menunggu waktu. Doa dan dukungan dari keluarga dan teman-teman membuat aku yakin Mas Aro segera sembuh, sehat seperti sedia kala, dan kita bisa menikah.

Alhamdulillah, pihak perusahaan tempat Mas Aro bekerja memberi cuti dan tidak mem-PHK Mas Aro , malah gaji bulanan diberikan utuh, karena dianggap Mas Aro selama ini sudah bekerja dengan baik. Biaya kontrol berobat juga ditanggung pihak perusahaan. Uang tabungan yang sejatinya akan kugunakan untuk biaya pernikahan kupakai untuk membantu biaya perawatan Mas Aro. Di sinilah aku merasa sudah mempuyai kewajibanku untuk membantu baik materiil maupun nonmateriil demi kesembuhan calon suamiku, meski statusnya kami belum resmi suami istri. Dengan kesabaran, saling percaya dan saling menjaga, aku yakin ujian pertama ini sebelum kami menikah, dapat terlewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...