Sementara itu Mas Aro sudah mendapat pekerjaan meski masih serabutan, katanya membantu usaha temannya. Ketika aku tanya, pekerjaannya apa? Membantu usaha apa? Jawabannya tidak jelas. Kadang-kadang terbersit dalam pikiranku, apakah dia masih mengejar uang itu? Apakah dia tidak membohongiku lagi? Aku ingin membuntutinya saat dia berangkat kerja. Benarkah dia bekerja? Atau hanya sekedar keluar rumah? Mengapa dia bekerja dua tiga hari sekali baru pulang? Dan sudah sebulan ini dia juga belum memberikan gajinya padaku?
*****
Kini anak keduaku sudah lahir. Alhamdulillah…baby mungil laki-laki, sehat dan ganteng. Kami memberi nama Mochammad Nurul Huda Assidiq. Kata ‘Assidiq’ sengaja aku tambahkan sebagai pertanda bahwa saat itu ibunya yang tengah mengandungnya mencari kebenaran dari ayahnya. Dan berharap kelak anaknya menjadi anak yang bersinar, menjadi panutan dan selalu melangkah dalam kebenaran. Amin.
Karena Mas Aro jarang pulang, kami jarang berkomunikasi. Aku tidak punya nomor telepon tempat dia bekerja atau nomor telepon temannya. Waktu itu orang masih jarang punya handphone. Jadi aku tidak tahu keberadaannya, bagaimana dia di sana, apalagi pekerjaannya. Namun dia bisa meneleponku siang hari saat aku masih di rumah ibu. Bila ditanya ibu bapak dimana Aro, kenapa sekarang tidak pernah menjemput lagi, hanya bisa kujawab bahwa dia bekerja di luar kota, dua tiga hari baru pulang. Syukurlah sudah bekerja, doa mereka. Namun bila ditanya apa pekerjaannya, luar kotanya mana, aku diam tak bisa menjawab. Dalam hati aku kesal, masak aku istrinya sendiri, orang yang paling dekat dengannya, tidak tahu keberadaan suamiku. Betapa bodohnya aku, sampai aku tidak tahu apa yang dilakukan Mas Aro selama ini? Bukankah aku masih serumah dengannya? Lalu kenapa aku sampai tidak tahu kemana suamiku pergi?
Hubungan kami semakin hari semakin buruk. Masing-masing jarang untuk saling menyapa. Aku pun menghiraukannya, karena aku sibuk dengan dua anakku yang masih balita. Untunglah Bude Kasminah, kakak dari ibu mau tinggal bersama kami dan merawat Huda yang baru berumur sebulan. Beliau tidak punya keluarga, karena tidak punya anak dan suaminya sudah meninggal. Kami keponakannya dianggapnya sebagai anak sendiri. Aku pun menganggap Bude Kasminah seperti ibuku sendiri. Sering kami bercerita tentang masa-masa kecil dulu yang juga diasuh beliau. Kini dia tinggal bersama kami. Dia sangat menyayangi Huda anakku.
Suatu hari, anakku Huda sakit. Sudah dua hari demam. Hari ketiga demamnya belum juga turun, meski sudah kuberikan obat turun panas. Selain itu dia juga tidak mau minum susu, tubuhnya lemas karena muntah terus sejak pagi. Bude Kasminah yang mengasuhnya menyarankan untuk membawa ke dokter. Tanpa pikir panjang kuputuskan aku harus membawa ke dokter, meski aku tidak punya uang untuk membayarnya.
Pagi itu juga Alif kubangunkan lebih awal untuk bersiap ke sekolah sekalian membawa adiknya ke dokter. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Alif tidak rewel dan mau segera bangun untuk ke sekolah. Sengaja aku berangkat lebih pagi untuk menghindari berdesakan dalam angkot karena aku membawa kedua balitaku, Alif yang masih duduk di TK B dan Huda yang masih berumur 5 bulan dalam gendonganku.
Kami bertiga berjalan menuju terminal angkot. Bude Kasminah melepas kami dengan sedih dan berdoa lirih, hati-hati di jalan, semoga Allah melindungi kalian. Kugendong Si Kecil Huda dan kugandeng Alif, menunggu ankot datang. Untunglah, tak lama kemudian angkot datang dan kami dapat tempat duduk, karena masih pagi, masih pukul 05.30 WIB.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku berdoa dan mohon ampun pada Allah, semoga anakku bisa terselamatkan. Tak terasa air mata ini menetes, sedih, gelisah dan bingung bercampur jadi satu. Melihat Huda yang semakin lemes dalam gedonganku, matanya terpejam membuatku semakin nelongso. Ya Allah, ampuni dosa dan salah hambaMu, selamatkan anakku, sembuhkan dia, Ya Allah. Doaku tak terputus sepanjang perjalanan dari rumah sampai rumah sakit.
Pukul 06.30 bus sampai di RSU Panti Wilasa. Segera aku turun, dan kugandeng Alif. Aku putuskan untuk langsung IGD setelah melihat Huda yang semakin lemes. Alif bertanya, “Kenapa kita turun di rumah sakit, Ma. Tidak di rumah Mbah Kung?” Mbah Kung adalah panggilan Alif untuk bapakku.
“Tidak sayang, kita periksakan adik dulu, baru nanti mama antar kamu ke sekolah.”
“Nanti aku terlambat Ma..”
“Nanti mama ijinkan kalau kita periksakan adik dulu.”
“Baik, Ma. nanti aku dijemput Mbah Kung ya.”
“Iya sayang..”, jawabku setengah menahan air mata yang hampir menetes.
Ya, Allah di tengah kami mendapat ujianMu, dimanakah suamiku berada? Kemana aku bisa menghubunginya? Tidakkah dia merasa aku sangat merindukannya, aku membutuhkannya. Meski aku merasa kuat dengan kesombonganku, bisa hidup tanpa dia, ternyata saat ini aku sangat mengharapkannya, dia ada di sampingku, menemaniku di saat-saat seperti ini, di saat aku butuh seseorang untuk menguatkanku, untuk menenangkanku. Y a Allah, bawalah suamiku pulang. Tidakkah dia merasa anaknya sakit, kami sekeluarga sangat mengharapkan dia pulang.
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar