Senin, 23 Agustus 2021

Saling percaya dan menjaga

Mengarungi biduk rumah tangga, menyatukan dua hati yang berbeda, dengan latar belakang kehidupan sosial budaya yang berbeda, dengan karakter masing- masing yang telah terbentuk sekian tahun butuh penyesuaian yang tidak gampang. Butuh saling pengertian, saling memahami, dan rela untuk mengalah. Kedua insan yang telah terpaut hati dan mencintai dengan tulus akan mudah melewati masa-masa sulit di lima tahun pertama usia perkawinan. Namun bila mementingkan ego masing-masing, tentu akan sulit melewati ujian yang datang dan yang ada perbedaan, perselisihan yang akan menghancurkan mahligai yang mereka bangun.

Sore itu Nunung duduk melamun di depan teras rumah. Rasanya hampir tak percaya bahwa sudah sebulan ini dia menikah dengan Aro, suami pilihan hatinya. Dia teringat  kala itu Aro melamarnya, ketika dia  selesai belajar mengaji bersama Aro. Kala itu memang Nunung adalah santri yang terakhir pulang. Teman-teman santri putra dan putri sudah pulang. Kebetulan malam itu gerimis, yang datang mengaji hanya beberapa saja dan mereka langsung pulang begitu selesai mengaji. Kini tinggalah dia sendiri, berdua saja dengan Aro, di ruang depan tempat Aro guru mengajinya mengajar.  Sementara di luar masih gerimis, dan beberapa santri masih menunggu.

“Nung, kemarilah. Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu.” kata Aro. Suaranya yang tenang, seakan membius di telinga Nunung. Ah, suara itu begitu berkharisma, begitu lembut, suara yang selalu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Alangkah bahagianya wanita yang mendampingi mas Aro. Tentu rumah tangga mereka jauh dari keributan selalu damai penuh cinta kasih dan harmonis. Keluarga yang saling mencintai dan saling menyayangi dalam satu akidah yang sama. Tidak seperti dirinya, meski hidup dibesarkan dalam keluarga yang  bahagia, berkecukupan, namun berbeda akidah. Dia dan kakak memeluk Islam, sedang kedua orang tua dan kedua adik laki-lakinya menganut akidah yang lain. Meski saling bertoleransi, namun tidaklah sama dalam menjalankan agama. Apalagi pada saat merayakan hari besar agama masing-masing. Ah, mungkinkah suatu saat nanti aku dipertemukan oleh Allah  dengan seorang laki-laki yang seiman?

“Nung, coba ke sini sebentar” panggil Aro lagi.

“Eh..Iya mas.”  Nunung tersentak kaget. Panggilan Aro membuyarkan lamunannya. Berbegas Nunung duduk di kursi menghadap Aro. Kini pandangan mata Nunung beradu pandang dengan tatapan Aro.

“Kamu melamun ya.” , goda Aro.

Ah…, senyum itu menggetarkan hatiku. Aneh. Ada sesuatu yang tiba-tiba berdesir lembut di relung hati, tatkala laki-laki di depanku tersenyum dan agak sedikit nakal menggoda dengan kerlingan matanya. Rupanya sedari tadi Aro memperhatikannya.  Dan, kenapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang kala pandangan kami bertemu? Ya Allah, pertanda apakah ini? Dan aku tak sanggup berlama-lama membalas tatapannya. Bukankah pandangan pada detik pertama itu rezeki dan selanjutnya dosa? Kucoba alihkan pandanganku. Pura-pura kurapikan hijab yang menutup wajahku. Sambil tertunduk dan tersipu, aku mencoba menetralkan debaran yang kurasakan dengan tersenyum tipis.  Mungkin bila bercermin, mukaku memerah karena malu.

“Nung..kamu cantik.” Suara Mas Aro sangat pelan, setengah berbisik. Kudengar dia menghela nafas panjang, sebelum akhirnya mengatakan ini. “Setelah hampir setahun kamu belajar mengaji di sini, kemajuanmu sangat pesat. Dan kamu rajin serta mau berlatih mengucapkan lafal dengan benar. Nung, selama kamu belajar diam-diam aku sering memperhatikan kamu,  maaf. Saya ingin mengenalmu lebih jauh. Bolehkah?”

Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi. “Bukan sekedar teman atau antara santri dan gurunya, lebih dari itu…aku ingin melamarmu, menjadikanmu pendampingku. Memang ini terlalu cepat. Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Apapun jawabanmu, aku siap menerimanya. ”

Bagai disambar petir. Betapa kata-kata itu bak membawa hati ini berada dalam taman bunga yang bermekaran, harum dan indah dipandang mata.  Hatiku serasa melayang, ingin rasanya kujawab sekarang, tapi tidak, dia memberi waktu aku untuk berpikir. Andai saja dia tahu, aku juga mulai ada tanda-tanda suka padanya. Bukan sebagi santri dan guru, tapi suka antara seorang wanita dan laki-laki. Ya Allah, benarkah apa yang kurasakan ini. Inikah jawaban dariMu pada doa-doa yang selama ini aku panjatkan? Aku hanya ingin bertemu dengan jodohku, seorang laki-laki yang bisa menjadi imamku di sepanjang hidupku. Semoga dia adalah seorang laki-laki yang baik yang Engkau hadirkan untukku.

Malam itu adalah malam sejarah, awal aku mengenal Mas Aro, laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Meski baru sebentar mengenal, hati ini sudah mantap ingin menjalin hubungan lebih serius. Meski dia belum pernah mengucapkan kata cinta, namun dari sikap dan perhatiannya, aku bisa merasakan lebih dari sekedar ucapan cinta. Dia sangat menyayangiku, dengan caranya, dia sangat mencintaiku dan selalu berusaha membuatku bahagia. Meski dia tidak bisa romantis, tidak pernah merayu, tapi aku tahu dia sangat mencintai aku. Terima kasih ya Allah, hari-hari kami begitu indah meski tanpa pacaran, dan tak menunggu lama, 6 bulan berikutnya dia mengawiniku.

Di depan Om Tono adik kandung bapak, Mas Aro mengucapkan akad nikah pada bulan Agustus. Dan hari itu adalah awal perjalanan panjang kami mengarungi lautan kehidupan berumah tangga dengan berbekal cinta, rasa percaya dan saling menjaga. Tak pernah terbayangkan akan hantaman badai, dan pernak-pernik masalah yang menghadang. Bismillah…aku yakin ini sudah kehendakNya, karena aku mencintainya karena Allah dan aku yakin rencana Allah lebih indah.

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...