Minggu, 22 Agustus 2021

Bahkan yang terhebat dulunya adalah seorang pemula..

Semua yang terjadi pada kita adalah hasil dari usaha dan doa. tidak ada sesuatu yang instan, tiba-tiba kesuksesan di depan mata tanpa perjuangan dan doa. Meski nasib dan rizeki sudah ada yang mengatur, rezeki tidak akan tertukar, dan rezeki sudah tertulis sebelum kita lahir, namun kita diwajibkan untuk berikhtiar, mencari rezeki yang “bertebaran “di bumi Allah. Artinya kita wajib berusaha untuk mengubah nasib kita menjadi lebih baik, tidak bermalas-malasan, berusaha semaksimal mungkin, dan kita pasrahkan hasilnya pada Allah, Sang Pemberi Rezeki.

Jangan ragu dan takut untuk memulai sesuatu yang baru, sesuatu kebaikan dan yakin bila semua dikerjakan dengan sungguh-sungguh, semua akan terselesaikan, teraih dan usaha tidak mengingkari hasil. Man jadda wajada.

Sebut aja namanya Aro, seorang pemuda biasa, tamatan Madrasah Aliyah di kampung. Merantau ke kota besar dengan berbekal ijasah tanpa punya keterampilan. Namun dia seorang yang alim, pernah mondok di ponpes untuk belajar ilmu agama. Di perantauan dia hidup menumpang di salah satu kerabatnya. Karena tak punya keahlian apa-apa dia bekerja serabutan, apa saja asal halal dan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sore hari dihabiskannya dengan mengajari anak-anak usia belasan di sekitar tempat dia tinggal  dengan belajar mengaji Qur’an. Saat awal dia mulai mengajar, hanya satu dua anak yang datang, itupun tak lebih dari 15 menit, karena memang anak-aak usia belasan itu enggan untuk belajar mengaji, mereka lebih senang bermain dengan teman sebaya atau menonton TV. Latar pendidikan dan sosial ekonomi warga sekitar memang ekonomi menengah ke bawah. Kebanyakan dari mereka adalah buruh pabrik dan tenaga harian lepas, Namun ini tak mengurangi semangat Aro untuk mengajarkan dan mensiarkan agama, seperti amanah ibunya. Meski banyak juga sindiran dari tetangga atau pemuda sebayanya yang menganggapnya sok alim. Apalagi di wilayah tempat dia tinggal banyak pemuda kampung yang bermabuk-mabukan dan berjudi. Tak jarang diiringi dengan perkelahian dan permusuhan. Justru ini menjadikannya semangat dan bertekad akan mengubah kampung dimana dia tinggal menjadi lebih baik, lebih agamis, menjalankan ibadah menjauhi kemungkaran.

Tahun pertama hanya tak lebih dari 10 orang yang mengaji pada Aro, dan Aro tetap mengajari anak-anak mengaji dengan telaten. Sambil menyisipkan nilai-nilai karakter dan perilaku yang mendidik buat kehidupan anak-anak santrinya. Tahun kedua jumlah anak-anak yang mengaji bertambah, tak hanya anak-anak usia SD, anak-anak remaja pun banyak yang belajar mengaji padanya. Sedikit demi sedikit cibiran dan cemoohan orang berkurang dan mereka memberi respect pada Aro. Bahkan satu demi satu yang dulunya membenci dan menghalangi kegiatan Aro, kini  mendukung dan mau belajar ilmu agama pada Aro. Memang,  tekad dan kemauan yang keras diiringi doa akan membuahkan hasil.

Selain kesuksesan dalam mengajar ilmu agama, sikap Aro yang ringan tangan dalam membantu siapa saja yang membutuhkan tenaganya, membuat Aro disenangi warga, dan menjadikannya pengurus Ikatan Remaja Masjid di wilayah itu. Setiap ada kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial lainnya, Aro dan santri binaannya ikut berperan aktif, menggalang persatuan dan bergotong royong Cita-citanya memakmurkan masjid dimana dia bisa mengabdikan dirinya untuk mensiarkan agama Islam.

Kini setelah hampir empat tahun Aro tinggal bersama kerabatnya di kampung itu, salah seorang santri putri menarik hatinya dan dipersuntingnya. Singkat cerita, mereka menikah hidup berbahagia, karena sejatinya cinta tiada mengenal pangkat dan kedudukan. Bila dipertanyakan, Aro hanya seorang pemuda desa, dengan ijazah MA dan lulusan pondok pesantren di sebuah kota kecil telah mampu menawan hati seorang wanita yang cantik, berpendidikan sarjana, dan dilihat dari segi ekonomi lebih mapan. Tapi jodoh tiada yang bisa menyangka, karena itu adalah rahasia Illahi, dan berkat usaha kerasnya serta ridlo dari ibunya, membawanya hidup bahagia.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...