Senin, 30 Agustus 2021

Masa-masa Indah Bersamamu (4)

 Tanggal perkiraan kelahiran ini sudah diambang pintu. Aku sudah merasakan betapa berat beban di perutku semakin terasa. Jalan sudah mulai payah. Tidur sudah gelisah, tak senyaman kemarin. Kepanasan, berkeringat, kadang-kadang si kecil nendang-nendang di perut dan perut jadi kaku. Bila seperti perut kuusap lembut dan kubisikkan kata-kata, ibu menyayangimu, ibu merindukanmu, semoga besok kau lahir selamat dan sehat anakku.

Aku belum mengambil cuti karena memamg sengaja hari cuti akan kuambil mendekati hari melahirkan, dengan harapan masa cutiku bisa panjang hingga tiga bulan. Dan Yayasan tempat aku mengajar mengijinkannya. Aku bisa punya waktu panjang merawat bayiku hingga tiga bulan dan tentu akan sangat membahagiakan saat-saat itu. Saat-saat dimana aku menjadi ibu sejati.

Sabtu pagi tanggal 16 Mei 1998 perutku rasanya mulas sekali, tidak seperti biasanya sakit ini melilit pada perut bagian bawah, hingga aku tak kuat berjalan. Kubilang pada suamlku, apakah ini pertanda saat-saat melahirkan tiba? Mas Aro bilang, “Sebaiknya kita ke bidan segera, ”

“Mas.. aku gak kuat ini sakit sekali…”,keluhku dengan suara lemas.

“Tahan, Dik. Kamu harus kuat, berdoa, istighfar, mohon pertolongan Allah,” hiburnya. “Aku akan bantu berdoa, jangan takut semua akan terlewati, Insha Allah”, katanya menguatkan aku.

Segera diambilnya motor dan tas yang sudah kupersiapkan. Perjalanan dari rumah ke tempat rumah bersalin itu cukup jauh, kurang lebih 20 menit. Namun melihat kondisi aku menahan kesakitan, jalannya pelan-pelan dan ditempuh selama 30 menit. Sepanjang perjalanan doa selalu aku panjatkan, sholawat tak henti-hentinya kuucap sambil terus memegangi perut dengan tangan kiriku karena menahan sakit, dan tangan kananku berpegangan erat pada tubuh suamiku. Ya, Allah tolonglah hambaMu, kuatkan aku, kuatkan bayiku, hingga kami tiba di rumah bersalin…doaku dalam hati.

Setiba di rumah bersalin itu bu bidan segera memeriksa keadaanku. disuruhnya aku tidur terlentang, menarik nafas panjang dan dia mulai memeriksanya. “Ibu sebentar lagi akan melahirkan, ini sudah waktunya, tapi ini baru membuka dua, silakan ibu bisa menunggu di sini. Nanti bila sudah membuka 5 atau 6 ibu akan kami bawa ke ruang bersalin”, kata bu bidan lembut. sambil tersenyum.

“Tapi ini sakitnya luar biasa bu…”, kataku sambil meringis kesakitan.

” Ibu bersabar, berdoa. Untuk mengurangi rasa sakit, ibu bisa berjalan-jalan di sekitar sini. Rasa sakit saat melahirkan memang seperti ini bu, Ibu kuat, ibu bisa”, katanya.

Kulihat sekeliling rumah bersalin itu. Ada dua orang ibu sedang menunggu waktu persalinan sama denganku. mereka juga berjalan-jalan. Kulihat dua orang ibu itu tenang, meski mereka mengelus berjalan-jalan sambil mengelus-elus perutnya. kelihatan dari wajah mereka tak tampak kesakitan meski sesekali menghela nafas panjang. Kucoba melakukan apa yang disarankan bu bidan dengan berjalan-jalan dan mendekati mereka. Kusapa seorang ibu, dan kami mengobrol.

“Ini anak ke berapa bu?”, tanyaku.

“Ini anak ketiga. Suami pingin anak laki-laki. Dua anaku sebelumnya perempuan”, katanya. “Kalau anak ibu ini yang ke berapa?’ tanyanya padaku.

“Ini yang pertama”, jwabku pelan.

“Oh..makanya aku lihat ibu menahan sakit. Kata bu bidan sudah buka berapa?”

“Baru dua”.

“O.. masih lama bu. Bisa sehari atau dua hari lagi.”

Haaah?? Sehari atau dua hari lagi aku akan menahan sakit ini? Ini baru dua jam berlalu saja sudah sakit seperti ini, mana aku bisa bertahan hingga dua hari. Memang sakitnya kadang muncul kadang hilang. Saat sakit itu muncul, sangat sakit luar luar biasa. Mencengkeram, melilit, seakan-akan memutar isi perutku. Ya, Allah..kuatkan aku, beri hamba kemudahan dan kelancaran Ya, Allah..

Lalu kuputuskan pulang ke rumah kakak yang kebetulan dekat dengan rumah bersalin. Dengan harapan dekat dengan kakak dan rumah ibuku, aku bisa lebih tenang ada yang menghibur dan sewaktu-waktu harus lari ke rumah bersalin lebih dekat jaraknya. Di rumah kakak, ternyata ibu sudah ada di sana dan menyambutku. Mas Aro yang memberitahu ibu, kalau aku akan melahirkan. Kakak dengan senang hati menyuruhku istirahat dan menyarankan aku untuk menginap di rumahnya. Hari itu aku menginap di rumah kakak.

“Kamu harus makan, Nung. dari tadi belum ada yang masuk ke perutmu. Makan akan memberimu kekuatan supaya nanti kamu punya tenaga untuk mengejan”, kata ibu.

“Tapi Nunung gak bisa makan, bu. Ini sakit sekali…”

“Makanlah sedikit. Ibu suapi ya,” kata ibu sabar.

Aku hanya bisa mengangguk pelan. Sementara itu suamiku pergi ke salah seorang kyai, minta didoalan agar aku diberi kemudahan dalam melahirkan. Disarankan juga agar aku minta maaf pada ibu dan minta didoakan ibu, barangkali dulu pernah menyakiti hatinya. Doa ibu lebih didengar Allah, kata Pak Kyai.

“Aku minta maaf pada ibu. aku mohon ibu bisa memaaafkan semua salahku. Aku mohon ibu mendoakan aku..”, tangisku.

Ibu membelai rambutku, ” Ibu sudah memaafkanmu, ibu selalu berdoa untukmu.”

“Terima kasih, bu”.

*****

“Tarik nafas, bu..Bagus. Ayo bu sedikit lagi..pintar”

“Ah…”jeritku perlahan. Aku sudah tak punya kekuatan lagi untuk berteriak. Rasa sakit yang sungguh sangat luar biasa aku rasakan. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Inilah perjuangan seorang ibu dalam melahirkan, antara hidup dan mati. Bertaruh nyawa. Subhanallah..Kuremas tangan Mas Aro ketika rasa sakit itu menyerang. Mas Aro yang masih setia menemaniku, boleh menunggui masuk ke ruangan bersalin, karena memang aku memintanya dan bu bidan mengijinkan. Kulihat dia gelisah, tapi mulutnya terus berucap doa di sampingku. Hingga akhirnya..

“Bapak silakan tunggu di luar, Ini sudah membuka sempurna. Tapi Bu Nunung kelihatannya sudah kehabisan tenaga, kami akan panggil dokter, untuk berjaga-jaga bila nanti perlu penanganan lebih lanjut”, kata bu Bidan.

Kulihat Bu Bidan segera memanggil dokter.  Kebetulan suaminya adalah dokter kandungan, jadi dia minta tolong pada suaminya untuk segera datang.

“Ayo bu sedikit lagi..terus..tarik nafas..” asisten bidan membantu mengurut perlahan perutku. “Jangan diangkat pantatnya bu..pinter..tarik nafas panjang..”

Kulihat dokter sudah datang dan dia sedang memasang sarung tangan. “Tahan ya bu, saya akan bantu”, kata dokter itu, sambil menoleh ke samping, tak tahu apa yang sedang dipersiapkan.

Aku yang sudah sangat kepayahan, tak bisa menahan untuk tidak mengangkat pantat saat mengejan terakhir. Dan..

“Oek..oek..”, terdengar tangisan bayi. Lega rasanya, plog. Alhamdulillah…

“O..sudah keluar.” Dokter itu agak kaget, karena sebenarnya dia sedang menyiapkan suntikan untukku, tapi bayiku sudah keluar. “Ya, sudah. Selamat bu, bayinya laki-laki. Ibu tahan sakit sedikit ya, saya mau “obras” jalan lahirnya”, katanya.

Kulihat bayiku diputar dengan posisi ke[ala di bagian bawah oleh asisten bidan. Katanya ada ari ketuban sedikit masuk ke mulut bayiku. Sementara itu, Bu bidan membantu dokter menjahit bagian alat vitalku. aku merasakan sakit yang luar biasa saat jarum jahit itu menembus kulit sekitar alat vitalku. Sepuluh menit kemudian selesailah.

“Selamat anak ibu laki-laki. Sehat. Setelah selesai dimandikan nanti akan dibawa ke sini. ibu istirahat, tapi tidak boleh tidur”, kata bu bidan lembut.

*****

“Alhamdulliah..terima kasih, ya Allah”, doaku.

“Alhamdulillah. Anak kita laki-laki, Dek. Bagus. Dan sudah kusuarakan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri”, kata Mas Aro. “Sudah kusiapkan nama untuknya. Mochamad Alif Maulana.”

Aku hanya tersenyum. Kulihat wajahnya tampak bahagia. bahagia menjadi seorang ayah. Aku juga bahagia, bahagia menjadi seorang ibu. terima kasih Ya, Allah atas karuniaMu.

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...