Jumat, 05 Februari 2021

Menyikapi Kebijakan Assemen Nasional

Salah satu kebijakan dari Mendikbud Nadhiem Makaim di era "Merdeka Belajar" dihapuskannya ujian nasional tahun 2020. Hal ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Ujian nasinnal yang dulu menjadi momok bagi siswa dan oang tua, sekarang tidak lagi. Dulu orang tua rela merogok kocek jutaan rupiah untuk membayar guru les anaknya dengan mendatangkan guru privat atau mengikutkan ke bimbel demi sebuah tujuan meraih nilai bagus dari ujian nasional. Sebuah prestise  ataukah prestasi saat nilai UN (Ujian Nasional) mencapai nilai sempurna? Apakah nilai sempurna bisa menjamin  anak sukses di masa depannya?

Kompetensi lulusan yang semula hanya berdasarkan kognitif (UN dan US) saja tidak cukup membekali siswa untuk menjawab tantangan abad 21 sepuluh hingga duapuluh tahun mendatang. Perlu ada skill yang dimiliki siswa agar tetap eksis menyongsong masa Indonesia Emas nanti. Pemerintah sedang mempersiapkan AN (Assesmen Nasional) untuk memetakan profil pendidikan di Indonesia melalui AKM (Assesmen Kompetensi Minimum), Survey Karakter dan Survey Lingkungan Belajar.

Saat ini yang terjadi di lapangan adalah bahwa materi ujian nasional terlalu padat, sehingga siswa dan guru cenderung mengejar penguasaan konten atau materi bukan kompetensi penalaran, UN menjadi beban siswa, guru dan orang tua, karena menjadi indikator keberhasilan siswa, bukan berfungsi untuk pemetaan mutu pendidikan nasional, UN hanya menilai aspek kognitif dan hasil belajar belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh.

Arahan kebijakan Kemendikbud sekarang bahwa Assesmen Nasional (AN) dilakukan pada jenjang sekolah dasar kelas 5, sekolah menengah kelas 8 dan sekolah atas dan kejuruan kelas 11 bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Asesmen nasional dilakukan untuk  mengevaluasi kinerja satuan pendidikan dan sekaligus menghasilkan informasi untuk perbaikan kualitas  belajar-mengajar, yang kemudian diharapkan berdampak pada karakter dan kompetensi siswa. dirancang untuk memotret mutu input, proses, dan hasil belajar yang mencerminkan  kinerja sekolah, sebagai umpan balik berkala yang objektif dan komprehensif bagi  manajemen sekolah, dinas pendidikan, dan Kemendikbud.

Bila melihat tujuan dari diberlakukannya AN maka sekolah tidak perlu melakukan persiapan khusus seperti halnya UN. Namun, bagaimana nanti bila hasil AN ternyata memberi gambaran bahwa siswa di sekolah X belum mampu menemukan atau mengambil informasi dalam wacana atau menginterpretasi sederhana? Apakah pengambilan sampel secara acak dalam pelaksanaan AN sudah mewakili sejumlah siswa di sekolah ? Mengingat sampel yang diambil di tingkat SD maksimal 30 orang per sekolah, SMP 45 orang, SMA dan SMK 45 orang. Bagaimana nanti bila gambaran hasil AN dipakai untuk memetakan peringkat sekolah atau untuk kepentingan informasi pendidikan yang lain? Tentu mau tidak mau sekolah tetap mengenalkan dan mensosialisasikan AN pada siswa dan gurunya baik terkait informasi pelaksanaan, tujuan, latar belakang AN, bentuk soal-soal AKM serta pengimbasannya. Karena bagaimanapun juga hasil AN tentu merupakan pretise sekolah itu bukan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...