Sabtu, 04 September 2021

Ujian Lima Tahun Perkawinan

 

Setahun mengambil Akta IV di Unnes kulalui begitu beratnya. Apalagi saat-saat usia kandunganku hampir memasuki usia 8 bulan Tapi tekad kuat untuk mendapat SIM mengajar memacu semangatku untuk bisa menyelesaikan studi ini. Meski kadang-kadang ijin tak mengikuti kuliah, namun aku berharap masih bisa ikut ujian dengan absensi kehadiran minimal 75% dan beberapa dosen mungkin iba melihatku datang ke kampus dengan perut membesar, kalau tidak diijinkan. Begitu juga saat PPL di SMAN 11, dosen pembimbing memberi kelonggaran dan kemudahan untuk praktik mengajar di sna. Dan Alhamdulillah aku lulus menempuh studi Akta IV dengan nilai baik. Tentu ini suatu anugerah yang tak ternilai dan merupakan rezeki buat Alif anakku. Usaha dan kesabaranku berbuah manis, anakku lahir dengan selamat dan aku juga lulus Akta IV.

Namun kebahagiaan yang kurasakan tak lama. Tahun itu 1998 merupakan tahun kegembiraan dan juga tahun kesedihan. Mengapa tidak, tahun itu Indonesia mengalami krisis moneter (krismon). Krismong berakibat nilai rupiah anjok dan meningkatnya hutang luar negeri yang harus segera dilunasi. Krismon ini berdampak ekonomi rakyat morat-marit, termasuk imbasnya ke Akademi Analis Nusaputera tempat aku mengajar. Di tahun 1998 AAK Nusaputera hanya menerima satu kelas yang tak lebih 30 mahasiswa. Sementara itu kegiatan operasional tetap berjalan, sehingga hal ini menimbulkan kerugian pihak yayasan. Karena tidak bisa menutup saldo minus dan tidak ada subsidi silang dari jenjang pendidikan di bawahnya (SMA-TK) maka pihak yayasan pun menutup operasional akademi tersebut sejak tahun 1998 dan hanya menyelesaikan hingga angkatan tahun 1998 lulus semua.

Keputusan pihak yayasan ini tentu sangat aku sayangkan. Dimana ilmu yang baru kuterima setelah lulus Akta IV belum banyak kupraktikkan di kelas dan aku kehilangan pekerjaanku sebagai pengajar di yayasan itu. Tidak hanya aku saja yang sedih dan kecewa dengan PHK dari yayasan ini, teman dosen dan karyawan AAK lain juga sedih, tapi harus bagaimana lagi. Pihak yayasan tidak mampu untuk menggaji kami. Kami diberi pesangon sebesar gaji yang diterima dikalikan masa kerja dan beberapa karyawan dialihtugaskan ke jenjang di bawahnya TK hingga SMA.

Meski PHK ini membuatku sedih, namun masih ada harapan bagi aku. Dengan berbekal ijasah sarjana dan Akta IV aku masih bisa mencari pekerjaan menjadi guru di sekolah lain. Tak begitu lama aku akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai guru tidak tetap (GTT) di SMP Negeri 20 Semarang, meski honor yang kuterima sangat jauh dari sebelumnya, namun aku aku patut bersyukur masih bisa mendapat rezeki. Kata ayah waktu itu, “Apapun itu yang namanya rezeki harus kita syukuri. Rezeki banyak belum tentu bisa mencukupi kebutuha.  Rezeki kecil, barokah bisa cukup bila kita pandai mengaturnya. Kalau kita mau berusaha disitu ada jalan.”

Menjadi GTT di SMP Negeri 20 atau istilahnya menjadi tenaga honorer atau wiyata akan memberi kesempatan kita untuk diangkat menjadi CPNS, kata teman, pada saat itu. Siapa tahu ada kebijakan dari pemerintah untuk diusulkan menjadi TPHL atau tenaga honorer daerah dengan gaji UMR. Sore harinya aku masih bisa mengajar di Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) Theresiana dan membuka les privat. Aku berusaha untuk tegar dan tetap semangat, meski kondisi keuangan tidak stabil.

bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...