Selasa, 14 September 2021

Ujian Lima Tahun Perkawinan (3)


 Waktu itu usia penikahan kami belum genap 5 tahun dan anakku yang pertama, Alif baru berusia 4 tahun. Dia sudah duduk di bangku TK. Seperti anak-anak yang lain pada umumnya. Dia anak yang pintar dan periang meski sedikit pemalu. Kesehariannya aku titipkan pada ibu saat kami bekerja. Karena kami tak sanggup untuk membayar pembantu ataupun pengasuh anak. Lagi pula kedua orang tuaku tidak keberatan bila aku menitipkan Alif pada mereka. Kedua orang tuaku sangat menyayangi cucunya, bahkan rasa sayangnya melebihi aku, anaknya sendiri. Bahkan aku rasakan mereka sangat memanjakan cucunya, sehingga kadang-kadang aku berselisih pendapat dengan ibu atau ayahku sendiri. Meski itu hanya persoalan sepele tentang Alif

“Dik.., dua hari besok aku ditugaskan keluar kota. Dik Nung jaga diri baik-baik ya. Kalau capek, tidak usah  jemput Alif. Dek Nung dan Alif tidur di rumah ibu saja. Menginap barang semalam dua malam, nanti kalau Mas sudah pulang, Mas jemput sekalian silaturahmi. Sudah lama Mas tidak mengunjungi ibu,” kata suamiku.

“Baik, Mas. Hati-hati. Mas juga jaga diri “ jawabku.

Kecupan lembut mendarat di dahiku. Ah…, dia begitu bisa merebut hatiku. Diraihnya kedua tanganku, dan dilingkarkan di pinggangnya. Sementara kedua tangannya lembut mengangkat wajahku perlahan. Matanya tajam menatapku menusuk hingga ke jantungku. Meski kami sudah lima tahun menikah, tetap saja ada desiran halus saat mata kami saling bertaut.

“Aku akan merindukanmu  sayang..”, bisiknya di telingaku.

“Cuma dua hari kan, Mas. Masak iya sih kangen” godaku sambil tesenyum.

“Jangankan dua hari. Satu jam saja tak dengar suara Dek Nung rasanya setahun lamanya kemarau dalam hati. Apalagi dua hari meninggalkan kalian bertiga”, rayunya sambil mengusap perutku.

Memang saat itu aku tengah mengandung anak keduaku. Aku berharap bayi yang kukandung ini sehat dan sempurna. Kuat dan cantik. Aku ingin bayi perempuan karena sulungku sudah laki-laki. Meski tak USG karena kami tak memiliki uang untuk periksa USG, dan aku menganggap itu tidak perlu. Yang penting tidak ada keluhan ibu dan anaknya, cukup bagiku periksa di bidan tak jauh dari rumah kami. Meski hidup kami pas-pasan aku selalu cukup memperhatikan gizi anakku. Cukup asupan gizi dan istirahat membuat bayi yang kukandung ini tumbuh baik dalam rahimku. Aku tidak pernah pingin hal-hal aneh seperti kebanyakan orang hamil, ataupun bermanja-manja. Aku masih bekerja. Justru ini menjadi penyemangat aku dalam bekerja.

Begitulah kehidupan rumah tangga kami. Aku mengabdi  dengan menjadi guru wiyata bakti di salah satu SMP negeri di kota, sedang suami bekerja sebagai sales salah satu CV bahan bangunan. Tentram dan bahagia aku rasakan meski dalam kesederhanaan, sampai suatu ketika seseorang datang menagih hutang ke rumah.

“Ansuran bapak sudah terlambat 5 hari dari tanggal jatuh tempo, bu. Ini ansuran yang ketiga. Denda keterlambatannya per hari  0,02%  dari pokok pinjaman”, kata debt collector.

“Ansuran apa ya mas?”

“Ansuran pinjaman atas nama Bapak Aro di BPR kami.”

“Ansuran pinjaman? Kapan dan berapa besarnya?” tanyaku penuh selidik dan sedikit bingung.

“Iya ibu, beberapa waktu lalu bapak mengajukan pinjaman ke BPR kami. Dan ini sudah masuk ansuran ketiga. Ansurannya  378 ribu rupiah.”

Dia memperlihatkan catatan berupa lembaran tagihan beberapa konsumen kreditor dari sebuah BPR. Melihat kop surat berlogo dan stempel dari BPR menunjukkan keasliannya bahwa suamiku memang mengambil hutang di bank itu. Namun aku masih ragu dan bertanya lagi.

“Memangnya bapak pinjam berapa juta mas?”, tanyaku.

“Sepuluh juta, bu”, jawabnya lagi.

“Sepuluh juta??”

Mataku terbelalak seketika. Bagai  disambar petir di siang hari yang terik. Kaget bercampur heran dan penasaran. Uang sebanyak itu untuk apa? Bagaimana dia bisa mendapatkannya? Dengan agunan apa dia berhutang? Kapan dia berhutang? Kenapa tidak bilang ke aku? Bagaimana kami harus membayarnya? Beribu pertanyaan berkecamuk di dadaku. Suamiku yang selama ini kuanggap jujur ternyata menyimpan kebohongan besar yang aku tak tahu. Tiga bulan yang lalu. Dan ini sungguh membuat hatiku sakit. Sakit sekali.

“Bu, bagaimana? Bisa dibayar sekarang?’’ suara debt collector itu membuyarkan lamunanku.

“E..  i..iya mas. Anu..maaf mas, hari ini kami belum bisa bayar. Mungkin dua hari lagi kami bisa bayar.”

“Baik bu. Kami tunggu dua hari lagi. Tapi ingat, denda tiap hari keterlambatannya akan dihitung. Jadi ibu jangan mundur lagi”, katanya dengan nada tinggi yang tidak enak di telinga. Diapun bangkit dari duduknya, merapikan kertas-kertasnya ke dalam tas.

“Permisi. Saya akan datang dua hari lagi.” Orang itu berlalu dari hadapanku  dan meninggalkan beribu pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan akal sehatku. Seketika itu juga aku ingat masih punya barang berharga yang masih kusimpan. Satu-satunya barang yang masih kumiliki dan tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Ya. Sertifikat rumah.

Segera kuperiksa lemari pakaian tempat kami menyimpan dokumen-dokumen dan sertifikat rumah di sana. Ijazah, album foto, sertifikat sengaja aku masukan dalam box dan kuletakan di dalam lemari itu. Kubolak-balik lembar demi lembar mencari sertifikat rumah. Entah sudah berapa kali aku memeriksa tumpukan kertas-kertas dalam box itu namun tak kutemukan juga apa yang aku cari. Marah, jengkel, kecewa berkecamuk memenuhi rongga dada dan mengaduk-aduk perasaanku. Mengapa dia tak membicarakan ini padaku. Adakah orang ketiga terlibat? Pandainya dia bersandiwara seolah-olah tak ada masalah. Pandainya dia menutup rahasia ini. Aku mulai curiga. Jangan-jangan…Ah, kutepis bayangan buruk yang mulai muncul di otakku. Tidak mungkin Mas Aro melakukan ini.

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...