Selasa, 14 September 2021

Ujian Lima Tahun Perkawinan (4)

 


Sore itu Mas Aro pulang dari kerja. Tidak seperti biasanya, dia langsung mandi dan masuk kamar. Sengaja kupendam amarahku. Melihatnya masuk kamar, segera kususul sambil kubawakan teh hangat untuknya. Kebetulan Si Kecil Alif main ke tetangga sebelah, jadi aku ada waktu untuk menanyakan keadaan Mas Aro hari ini.

"Tehnya masih hangat, Mas. Silakan diminum. Hari ini tentu capek, aku pijit ya", tawarku membuka percakapan sore itu.

"Terima kasih, Dik. Alif kemana?" tanyanya.

"Main ke tetangga sebelah" ,jawabku sambil memijit kakinya. Kucoba memancing agar dia cerita. "Mas, tadi Pak Pri  main ke sini. Dia menanyakan kamu. Katanya sudah lama dia nggak ketemu Mas. Bukannya dia satu bagian divisi sama kamu, Mas."

Mas Aro menarik nafas panjang. Seakan-akan hendak melepaskan beban berat yang menghimpitnya. Ditatapnya mataku, tangannya menarik lembut tanganku. Tak ada kata yang diucapkannya.

"Tadi pagi ada debt collector dari BPR. Dia menagih ansuran. Katanya sudah 3 bulan ini ansuranmu nunggak. Ansuran apa ya, Mas. Kok aku nggak tahu kalau Mas punya hutang."

"Maafkan aku Dik Nung, aku nggak berani cerita. Aku enggak mau kamu kepikiran."

"Ceritalah padaku, Mas. Apapun itu kesulitanmu, aku siap mendengarnya. Kalau aku dengar dari orang lain, ini lebih menyakitkan. Karena aku merasa suamiku membohongi aku. Kamu enggak jujur padaku, Mas" suaraku mulai serak, mataku mulai berkaca-kaca.

"Aku akan cerita tapi tidak sekarang, Dik Nung. Tunggu sampai aku mampu untuk cerita, aku akan jujur semuanya."

"Kenapa nunggu nanti. Bukankah suami istri harus saling terbuka, agar tidak ada suudzon satu sama lain. Kenapa tidak sekarang saja kamu cerita. Untuk apa hutang uang di BPR. Untuk apa  Mas? Ada wanita lainkah? Apakah selama ini aku belum baik dalam melayanimu?" berondongku sambil terisak. Sakit rasanya suamiku telah berbohong. Dan kebohongannya terbongkar orang lain.

"Dik Nung kamu salah menilaiku. Tidak ada wanita lain di hati aku. aku hutang bank karena aku harus mengembalikan uang kantor yang telah aku pakai."

"La uang kantor itu kamu pakai untuk apa Mas? Sepuluh juta itu banyak. Buat foya-foyakah? Mengapa kamu lakukan itu, Mas. Kita butuh uang untuk kelahiran anak kita, kamu malah foya-foya. "

"Dengar dulu, Dik. Sabar"

"Bagaimana aku bisa sabar, Mas. Kamu hutang sepuluh juta tanpa sepengetahuanku. Jaminan sertifikat rumah kita. Selama tiga bulan sudah diPHK. Aku enggak ngerti Mas. Kenapa kamu sembunyikan semua ini dari aku. Kamu nggak cerita. Kenapa aku harus dengar dari orang lain?" Tangisku semakin terisak. Kukeluarkan semua isi yang menyesakkan dadaku. Ini adalah pertama kalinya aku bertengkar hebat dengan suami selama hampir lima tahun kami menikah.

Kulihat wajah Mas Aro tenang, sepeti tak ada masalah. Dia biarkan aku menangis. Setelah agak mereda tangisku, beberapa saat kemudian, diraihnya tanganku. "Maafkan aku, Dik. Aku akan cerita. Tapi aku minta kamu tenang, tidak usah emosi. Aku butuh saranmu", katanya lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...