Selasa, 31 Agustus 2021

Masa-Masa Indah Bersamamu (5)

 Bahagianya menjadi seorang ibu, kurasakan sekarang ini. Bayi mungil lahir dengan selamat, fisik  bagus dan sempurna, sehat jasmani dan rohani. Meski laki-laki wajah anakku mirip aku ibunya. Kuusap rambutnya yang tebal hitam, bibir mungil, mata yang masih terpejam. kulit yang masih memerah. Ya, Allah sungguh besar kuasaMu. Makhluk yang Engkau titipkan di rahimku, sembilan bulan aku menantinya, kini ada di sampingku. Terima kasih, Ya Allah. Semoga dia membawa rezeki melengkapi kebahagiaan kami.

Hari itu hari yang sangat melelahkan sekaligus membahagiakan. Hari yang penuh rahmat dan doa untukku serta anakku.Teman, kerabat, saudara saling memberi ucapan selamat dan doa, menambah kebahagiaan hati. Rasa sakit yang tadi kurasakan terbayar dengan kebahagiaan yang tak terlukis saat ini. Nama terindah sebagai gambaran harapan dipilih Mas Aro untuk bayi mungilku, Mochamad Alif Maulana, artinya Mochamad Tuan Pelindung (Baginda)  utama (anak pertama).Semoga nama yang disandangnya seperti doa agar kelak dia sebagai pelindung dan pemimpin yang utama.

Persalinanku yang normal, meski bagian kewanitaanku berjahit banyak, membuatku bersyukur tidak dilakukan operasi cesar. Sakit pasca melahirkan normal akan sembuh lebih cepat dan alami dibanding sakit karena operasi cesar. Sehari itu aku boleh turun dari bed dan belajar menyusui. Kata Bu Bidan aku harus telaten belajar memberi asi pada Alif-panggilan baby kecilku- agar merangsang payudaraku untuk menghasilkan ASI yang banyak. Karena biasanya bayi laki-laki minum susu sangat kuat, beda dengan bayi perempuan. Aku juga belajar memandikannya, mengganti popok saat pipis atau pup, dan belajar menggendong. Semua kulakukan dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Ini adalah pengalam pertamaku yang mengasyikan dan membahagiskan.

Kata Bu Bidan aku diperbolehkan pulang setelah dua hari, agar jahitannya agak kering dan aku sudah bisa buang air kecil tanpa harus dikateter. Dikarenakan “diobras” maka area kewanitaanku membengkak dan aku kesulitan untuk buang air kecil. Aku diberi obat untuk merangsang agar aku bisa buang air kecil, yang harus diminum 3x sehari. Karena aku pingin secepatnya bisa buang air kecil, obat dari Bu Bidan yang seharusnya habis dalam 3 hari, kuminum tiap 3 dan habis selama satu setengah hari. Tentu saja ini menstimulir hormon hipoitary di otak memberi aksi agar terus buang air (pipis) tiap 15 menit. Untungnya obat ini tidak ada efek samping, hanya untuk mempercepat agar aku bisa pipis.

Senin, 30 Agustus 2021

Masa-masa Indah Bersamamu (4)

 Tanggal perkiraan kelahiran ini sudah diambang pintu. Aku sudah merasakan betapa berat beban di perutku semakin terasa. Jalan sudah mulai payah. Tidur sudah gelisah, tak senyaman kemarin. Kepanasan, berkeringat, kadang-kadang si kecil nendang-nendang di perut dan perut jadi kaku. Bila seperti perut kuusap lembut dan kubisikkan kata-kata, ibu menyayangimu, ibu merindukanmu, semoga besok kau lahir selamat dan sehat anakku.

Aku belum mengambil cuti karena memamg sengaja hari cuti akan kuambil mendekati hari melahirkan, dengan harapan masa cutiku bisa panjang hingga tiga bulan. Dan Yayasan tempat aku mengajar mengijinkannya. Aku bisa punya waktu panjang merawat bayiku hingga tiga bulan dan tentu akan sangat membahagiakan saat-saat itu. Saat-saat dimana aku menjadi ibu sejati.

Sabtu pagi tanggal 16 Mei 1998 perutku rasanya mulas sekali, tidak seperti biasanya sakit ini melilit pada perut bagian bawah, hingga aku tak kuat berjalan. Kubilang pada suamlku, apakah ini pertanda saat-saat melahirkan tiba? Mas Aro bilang, “Sebaiknya kita ke bidan segera, ”

“Mas.. aku gak kuat ini sakit sekali…”,keluhku dengan suara lemas.

“Tahan, Dik. Kamu harus kuat, berdoa, istighfar, mohon pertolongan Allah,” hiburnya. “Aku akan bantu berdoa, jangan takut semua akan terlewati, Insha Allah”, katanya menguatkan aku.

Segera diambilnya motor dan tas yang sudah kupersiapkan. Perjalanan dari rumah ke tempat rumah bersalin itu cukup jauh, kurang lebih 20 menit. Namun melihat kondisi aku menahan kesakitan, jalannya pelan-pelan dan ditempuh selama 30 menit. Sepanjang perjalanan doa selalu aku panjatkan, sholawat tak henti-hentinya kuucap sambil terus memegangi perut dengan tangan kiriku karena menahan sakit, dan tangan kananku berpegangan erat pada tubuh suamiku. Ya, Allah tolonglah hambaMu, kuatkan aku, kuatkan bayiku, hingga kami tiba di rumah bersalin…doaku dalam hati.

Setiba di rumah bersalin itu bu bidan segera memeriksa keadaanku. disuruhnya aku tidur terlentang, menarik nafas panjang dan dia mulai memeriksanya. “Ibu sebentar lagi akan melahirkan, ini sudah waktunya, tapi ini baru membuka dua, silakan ibu bisa menunggu di sini. Nanti bila sudah membuka 5 atau 6 ibu akan kami bawa ke ruang bersalin”, kata bu bidan lembut. sambil tersenyum.

“Tapi ini sakitnya luar biasa bu…”, kataku sambil meringis kesakitan.

” Ibu bersabar, berdoa. Untuk mengurangi rasa sakit, ibu bisa berjalan-jalan di sekitar sini. Rasa sakit saat melahirkan memang seperti ini bu, Ibu kuat, ibu bisa”, katanya.

Kulihat sekeliling rumah bersalin itu. Ada dua orang ibu sedang menunggu waktu persalinan sama denganku. mereka juga berjalan-jalan. Kulihat dua orang ibu itu tenang, meski mereka mengelus berjalan-jalan sambil mengelus-elus perutnya. kelihatan dari wajah mereka tak tampak kesakitan meski sesekali menghela nafas panjang. Kucoba melakukan apa yang disarankan bu bidan dengan berjalan-jalan dan mendekati mereka. Kusapa seorang ibu, dan kami mengobrol.

“Ini anak ke berapa bu?”, tanyaku.

“Ini anak ketiga. Suami pingin anak laki-laki. Dua anaku sebelumnya perempuan”, katanya. “Kalau anak ibu ini yang ke berapa?’ tanyanya padaku.

“Ini yang pertama”, jwabku pelan.

“Oh..makanya aku lihat ibu menahan sakit. Kata bu bidan sudah buka berapa?”

“Baru dua”.

“O.. masih lama bu. Bisa sehari atau dua hari lagi.”

Haaah?? Sehari atau dua hari lagi aku akan menahan sakit ini? Ini baru dua jam berlalu saja sudah sakit seperti ini, mana aku bisa bertahan hingga dua hari. Memang sakitnya kadang muncul kadang hilang. Saat sakit itu muncul, sangat sakit luar luar biasa. Mencengkeram, melilit, seakan-akan memutar isi perutku. Ya, Allah..kuatkan aku, beri hamba kemudahan dan kelancaran Ya, Allah..

Lalu kuputuskan pulang ke rumah kakak yang kebetulan dekat dengan rumah bersalin. Dengan harapan dekat dengan kakak dan rumah ibuku, aku bisa lebih tenang ada yang menghibur dan sewaktu-waktu harus lari ke rumah bersalin lebih dekat jaraknya. Di rumah kakak, ternyata ibu sudah ada di sana dan menyambutku. Mas Aro yang memberitahu ibu, kalau aku akan melahirkan. Kakak dengan senang hati menyuruhku istirahat dan menyarankan aku untuk menginap di rumahnya. Hari itu aku menginap di rumah kakak.

“Kamu harus makan, Nung. dari tadi belum ada yang masuk ke perutmu. Makan akan memberimu kekuatan supaya nanti kamu punya tenaga untuk mengejan”, kata ibu.

“Tapi Nunung gak bisa makan, bu. Ini sakit sekali…”

“Makanlah sedikit. Ibu suapi ya,” kata ibu sabar.

Aku hanya bisa mengangguk pelan. Sementara itu suamiku pergi ke salah seorang kyai, minta didoalan agar aku diberi kemudahan dalam melahirkan. Disarankan juga agar aku minta maaf pada ibu dan minta didoakan ibu, barangkali dulu pernah menyakiti hatinya. Doa ibu lebih didengar Allah, kata Pak Kyai.

“Aku minta maaf pada ibu. aku mohon ibu bisa memaaafkan semua salahku. Aku mohon ibu mendoakan aku..”, tangisku.

Ibu membelai rambutku, ” Ibu sudah memaafkanmu, ibu selalu berdoa untukmu.”

“Terima kasih, bu”.

*****

“Tarik nafas, bu..Bagus. Ayo bu sedikit lagi..pintar”

“Ah…”jeritku perlahan. Aku sudah tak punya kekuatan lagi untuk berteriak. Rasa sakit yang sungguh sangat luar biasa aku rasakan. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Inilah perjuangan seorang ibu dalam melahirkan, antara hidup dan mati. Bertaruh nyawa. Subhanallah..Kuremas tangan Mas Aro ketika rasa sakit itu menyerang. Mas Aro yang masih setia menemaniku, boleh menunggui masuk ke ruangan bersalin, karena memang aku memintanya dan bu bidan mengijinkan. Kulihat dia gelisah, tapi mulutnya terus berucap doa di sampingku. Hingga akhirnya..

“Bapak silakan tunggu di luar, Ini sudah membuka sempurna. Tapi Bu Nunung kelihatannya sudah kehabisan tenaga, kami akan panggil dokter, untuk berjaga-jaga bila nanti perlu penanganan lebih lanjut”, kata bu Bidan.

Kulihat Bu Bidan segera memanggil dokter.  Kebetulan suaminya adalah dokter kandungan, jadi dia minta tolong pada suaminya untuk segera datang.

“Ayo bu sedikit lagi..terus..tarik nafas..” asisten bidan membantu mengurut perlahan perutku. “Jangan diangkat pantatnya bu..pinter..tarik nafas panjang..”

Kulihat dokter sudah datang dan dia sedang memasang sarung tangan. “Tahan ya bu, saya akan bantu”, kata dokter itu, sambil menoleh ke samping, tak tahu apa yang sedang dipersiapkan.

Aku yang sudah sangat kepayahan, tak bisa menahan untuk tidak mengangkat pantat saat mengejan terakhir. Dan..

“Oek..oek..”, terdengar tangisan bayi. Lega rasanya, plog. Alhamdulillah…

“O..sudah keluar.” Dokter itu agak kaget, karena sebenarnya dia sedang menyiapkan suntikan untukku, tapi bayiku sudah keluar. “Ya, sudah. Selamat bu, bayinya laki-laki. Ibu tahan sakit sedikit ya, saya mau “obras” jalan lahirnya”, katanya.

Kulihat bayiku diputar dengan posisi ke[ala di bagian bawah oleh asisten bidan. Katanya ada ari ketuban sedikit masuk ke mulut bayiku. Sementara itu, Bu bidan membantu dokter menjahit bagian alat vitalku. aku merasakan sakit yang luar biasa saat jarum jahit itu menembus kulit sekitar alat vitalku. Sepuluh menit kemudian selesailah.

“Selamat anak ibu laki-laki. Sehat. Setelah selesai dimandikan nanti akan dibawa ke sini. ibu istirahat, tapi tidak boleh tidur”, kata bu bidan lembut.

*****

“Alhamdulliah..terima kasih, ya Allah”, doaku.

“Alhamdulillah. Anak kita laki-laki, Dek. Bagus. Dan sudah kusuarakan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri”, kata Mas Aro. “Sudah kusiapkan nama untuknya. Mochamad Alif Maulana.”

Aku hanya tersenyum. Kulihat wajahnya tampak bahagia. bahagia menjadi seorang ayah. Aku juga bahagia, bahagia menjadi seorang ibu. terima kasih Ya, Allah atas karuniaMu.

bersambung…

Minggu, 29 Agustus 2021

Masa-masa Indah Bersamamu (3)

 Usia kandunganku kini sudah memasuki trimester ketiga, 34 minggu. Aku sudah merasakan ada gerakan si kecil menendang-nendang perutku. Sungguh keajaiban yang luar biasa kurasakan. Subhanallah..Subhanallah..Subhanallah. Rasanya tidak percaya sebentar lagi aku menjadi ibu. Berat badanku cepat sekali bertambah, naik hampir 12 kg dari berat semula. Kata bidan tempat aku periksa, jangan terlalu kelebihan berat, karena melihat tubuhku yang kecil dan pinggulku yang sempit nanti akan menyusahkan saat melahirkan. Maksimal pertambahannya sampai 15 kg saja saat usia sembilan bulan nanti. Kakiku yang membengkak disarankan untuk memakai sandal atau sepatu dengan alas yang pendek, mengurangi minuman makanan manis dan sering jalan-jalan pagi agar peredaran darah lancar. Mengepel lantai dan bersujud lama melatih agar posisi kepala bayi berputar ke bawah menuju jalan lahir, agar lahirnya tidak sungsang, dan nasihat lainnya dari bu bidan selalu aku indahkan.

Bulan depan kehamilanku  memasuki usia ke-9. Menurut perkiraan bidan, aku akan melahirkan  pada tanggal akhir di bulan depan. Tapi biasanya perkiraan tanggal bisa maju hingga seminggu sebelumnya. Ibu mengingatkanku untuk menyiapkan seperangkat baju dan kain, juga popok dan baju bayi jika sewaktu-waktu merasa mau melahirkan sudah siap untuk dibawa. Aku mengiyakan perintah ibu, karena memang aku belum pernah tahu apa yang dilakukan dan bagaimana rasanya melahirkan, sehingga apa saja yang dikatakan ibu aku selalu berusaha memenuhinya. Pantangan dan nasihat yang beliau ajarkan padaku tentu amat sangat berguna untukku, dan aku merasa beliau amat menyayangiku, karena aku putrinya, akan menjadi seorang ibu.

Sementara itu kakakku juga memberikan beberapa popok dan baju bayi yang pernah dipakai anaknya waktu masih bayi dulu. Popok bayiyang  masih bagus dan bisa dipakai keponakannya ini. Kata orang ada baiknya kita dalam mempersiapkan semua keperluan bayi tidak harus baru meski kita punya uang dan bisa membelinya. Beberapa boleh memakai barang lama atau bekas milik saudara, dan bagiku ini tidak masalah karena bisa menghemat biaya. Dan Alhamdulillah, ada tabungan sedikit yang nantinya uangnya  bisa  dialihkan untuk biaya persalinan dan doa selamatan si bayi.

Bulan-bulan kemarin sejak selesai acara mitoni itu, aku mulai rajin berhemat dan mengurangi belanja barang-barang yang tidak kubutuhkan. Kata kakak, aku harus  pintar dalam memanage keuangan keluarga, agar tidak besar pasak daripada tiang. Semua kebutuhan bisa dicatat dan dirinci– bila perlu–sebelum kita berbelanja untuk menghindari “blind spot shopping” yaitu belanja barang yang tidak kita butuhkan yang akan mubadzir nantinya. Betul juga kupikir, kenapa kakak selalu pandai mengatur keuangan meski suaminya berpenghasilan cukup besar, namun tidak bermegah-megahan soal makan dan berpakaian, karena selalu mencatat belanja dan kebutuhan dalam setiap bulannya.

Sekarang aku  mulai belajar menjadi ibu rumah tangga yang sebenarnya, mulai dari mengatur dan mengurus keperluan suami, keperluan rumah tangga, dan besok keperluan anak-anak. Hmm…harus pandai dan bijak dalam membelajakan uang suami. Dan Alhamdulillah patut aku syukuri punya ibu dan kakak yang banyak memberi ilmu bagaimana mengatur keuangan rumah tangga meski kita punya penghasilan sendiri. Selain itu ibu yang jago masak juga membagi ilmunya bagaimana menyayangi suami dengan meladeni menyuguhkan makanan istimewa buat suami, sehingga suami tidak sering jajan di luar, tapi sebaliknya  selalu menanti dan menyenangi masakan istrinya di rumah. Jangan dibiasakan untuk jajan di luar, tapi masaklah. Karena makan di rumah bersama keluarga lebih baik, menghangatkan dan menambah keharmonisan keluarga, disamping menghemat pengeluaran. Makan di luar belum tentu sehat dan bergizi, selain harganya lebih mahal, bisa mengurangi keharmonisan bila sering jajan ke warung makan. Namun, sesekali boleh untuk refreshing dan berganti suasana, itu yang ibu nasihatkan ke aku.

Bismillahi rohmanir rohim. Semoga nanti Engkau memberi kemudahan, kekuatan, kelancaran saat hamba melahirkan, ya Allah. Anakku menjadi anak yang sehat jasmani dan rohaninya, tumbuh dan menyejukkan hati serta pandangan mata kedua orang tuanya, qurrota a’yunin. Menjadi anak sholeh sholehah berbakti pada kedua orang tua dan agama. semoga kami sebagai orang tua mampu mengantarnya hingga  dewasa kelak dengan memberikan pendidikan yang terbaik untuk mereka. Amin, Ya Robbal alamin.

bersambung…

Jumat, 27 Agustus 2021

Masa-masa Indah Bersamamu (Mitoni)

 Betapa senangnya Mas Aro, saat kuberitahu bahwa aku hamil. “Secepat itukah?”, tanyanya.

“Iya, Mas. Ini buktinya.”

“Kamu harus sehat, Dik. Jangan terlalu capek. Besok aku antar ke dokter kandungan, untuk memastikan dan kamu akan dapat vitamin, supaya anak kita juga sehat”, katanya bersemangat dan mengelus-elus perutku.

“Iya, Mas rencanaku juga begitu. Kebetulan besok tidak ada kuliah, jadi kita tidak kemalaman periksa ke dokter”, jawabku. “Mudah-mudahan aku kuat ya, Mas. Kerja sambil kuliah, saat aku hamil lagi. Doakan aku, Mas. Aku ingin anak kita sehat dan kuliahku lancar.”

“Kamu pasti bisa, Dik. Aku selalu berdoa untukmu, untuk  anak kita. Ini rezeki buat kita. Aku akan membantumu. Kamu nggak usah mengerjakan pekerjaan rumah. Biar aku yang membereskan. ”

“Iya, Mas. Mudah-mudahan aku kuat dan sehat. Anak ini ikut belajar dan sekolah sama ibunya. Dia besok akan jadi anak yang  sholeh  seperti bapaknya.”

“Dan pintar seperti ibunya”. puji Mas Aro. “Aku ingin dia laki-laki yang kuat.”

“Laki atau perempuan, tidak masalah. Yang penting dia sehat dan selamat.”

*****

Hari-hari demi hari kulalui bersama bersama dia si kecil dalam perutku. Aku selalu berdoa dan menjaganya. Aku selalu mengajaknya kemanapun aku pergi. Dia selalu bersamaku, bersama senangku, bersama lelahku, bersama semangatku. Aku selalu mengajaknya berbicara, saat raga ini senang, saat lelah, saat kepayahan, selalu kuajak dia berdialog. Aku mau bayi yang kukandung ini sehat dan membantu ibunya, mengerti keadaan ibunya. Bekerja dan belajar. Semoga aku bisa menjaganya hingga dia lahir ke dunia. Aku ingin memberi yang terbaik untuknya, aku ingin dia tahu, betapa aku mencintainya, menyayanginya, meski dia kuajak untuk bekerja dan belajar.

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau telah menitipkan amanah buat kami, memberi rezeki pada kami. Kami selalu berdoa, semoga kami bisa menjalankan amanahMu ini dengan baik ya, Allah. Beri hamba kemudahan, kekuatan dan kelancaran hingga proses persalinan nanti. Mudahkanlah semua urusan hamba ya Allah, mudahkanlah dalam menyelesaikan kuliah ini. Walau kadang-kadang berat aku rasakan, naik turun bus, berdesakan, pada kondisi hamil harus bekerja dan kuliah, demi mengejar cita dan cinta, tapi aku ikhlas dan bahagia. Anak ini tidak rewel, dia sehat, kuat, ikut mengerti keadaan dan keinginan ibunya.  Dia anak baik. Semakin hari tumbuh semakin besar dan pintar. Aku juga selalu menjaganya, minum vitamin, makan yang bergizi, istirahat cukup, pola hidup yang seimbang serta rajin memeriksakan kandungan ke bidan. Suami dengan setia mengantarkan dan ikut prihatin. Bila keadaan kurang menyenangkan kubacakan sholawat dan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dan Alhamdulillah tidak ada keluhan yang berarti, ataupun ngidam yang aneh-aneh. Pernah satu kali pingiiin sekali makan apel fuji yang waktu itu harganya mahal. Aku hanya beli 2 biji saja, itupun hanya kumakan separuhnya. Mas Aro, suamiku, ikut berdoa dan membantu persiapanku dalam menyambut hadirnya buah hati ini.

Usia tujuh bulan kehamlanku, ibu dan ibu mertuaku mempersiapkan acara selamatan tujuh bulan (mitoni dalam Bahasa Jawa atau tingkeban). Kami mengadakan pengajian sederhana untuk memohon keselamatan, kesehatan ibu dan anak yang kukandung lahir sempurna fisiknya, tidak cacat serta memohon kelancaran dalam persalinan nantinya. Dalam adat Jawa acara selamatan ini kami menyediakan hidangan yang diberikan ke tujuh tetangga kanan kiri berupa nasi lengkap dengan tujuh macam lauk, nasi urap dengan tujuh macam sayur, tujuh macam buah untuk rujakan dan tujuh macam jajan pasar.

Mungkin bagi sebagian besar orang modern seperti saya dan suami, tak mengerti maksudnya. Namun, kata orang tua, ini sudah menjadi tradisi, dan kami pun menurutinya, karena takut melanggar tradisi dan omongan orang tua. Dilanjut dengan acara siraman dan pecah telur serta pecah degan (kelapa muda) dari kelapa gading yang sudah digambar janaka dan srikandi (tokoh wayang) dengan harapan anak dilahirkan kelak berakhlak halus dan mulia. Semua ini kami niatkan supaya mendapatkan keberkahan dan ridlo dari Allah semata, Allah Yang Maha Kuasa Sang Pemilik Kehidupan, bukan karena sirik dan musyrik.

bersambung…

Masa-masa Indah Bersamamu

Perkawinan adalah menyatukan dua hati yang berbeda, sejumlah latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan yang berbeda. Tentu saja dua insan akan saling menyesuaikan dan mengalah, menyingkirkan ego, menomorduakan keinginan kita. Saling kompromi, menghargai pendapat  dan menghindari perselisihan. Boleh jadi kebiasan yang sudah mendarah daging bagi kita tidak disukai oleh pasangan kita, dan sebaliknya. Ada baiknya untuk hal-hal seperti ini kita bicarakan baik-baik dengan pasangan. Jangan sampai hal sepele mengganjal di hati dan bisa merusak hubungan suami istri.

Siang itu udara cukup panas. Setelah selesai mengajar ingin rasanya segera pulang dan istirahat sebentar sebelum nanti berangkat kuliah ke Unnes. Ya aku memang mengambil Akta IV di FIP Universitas Semarang. Ini adalah kewajibanku untuk mengambil Akta IV bila aku berkomitmen mengajar karena latar belakang pendidikan yang kumiliki nonkeguruan, jadi aku harus punya “SIM” (Surat Ijin Mengajar). Kebetulan Yayasan dimana aku bekerja memfasilitasi dan memberi kelonggaran aku untuk melanjutkan mengambil jurusan Akta IV dengan biaya dari yayasan. Tawaran ini kusambut dengan senang hati karena aku menilai ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan SIM dengan gratis sambil aku tetap bekerja.

Bergelayutan dan berdesak-desakan dalam bus kota sudah menjadi rutinitasku semenjak aku harus melanjutkan studi mengambil Alta IV di Unnes (Universitas Negeri Semarang). Jarak antara rumah dan kampus cukup jauh dan perjalanan naik turun, karena kampus Unnes terletak di daerah pegunungan di ujung selatan Kots Semarang. Kuliah dilakukan sore hari setelah mengajar dan ini cukup membuatku lelah. Selain mengajar dan mempersiapkan materi, aku harus menyelesaikan tugas-tugas kampus. Ada beban yang harus aku pertanggungjawabkan, karena studi ini dibiayai oleh yayasan, maka aku harus lulus dan mempunyai nilai baik. Aku harus bisa menyelesaikan studi Akta IV ini demi karierku di masa depan dan agar aku tidak mengganti biaya studi, karena sebelumnya pihak yayasan memberi perjanjian yang harus aku setujui untuk mengembalikan sekuruh biaya studi bila tidak lulus.

Tiba-tiba dalam bus yang sesak ini perutku mual, rasanya mau muntah. Udara panas dan bau keringat orang di samping kanan kiriku membuat aku semakin mual dan mulai pusing. Berkali-kali kucoba umtuk menahan dengan menghisap permen yang sengaja aku bawa saat bepergian berkenadaraan dengan angkuan umum. Permen yang kukulum memang sedikit membantu agar perutku  tidak mual dan memberikan rasa nyaman. Minyak kayu putih sengaja kuoleskan dan kuhirup untuk memberi terapi ketenangan  dan menolak bau tajam dari keringat orang-orang di sekitarku. Tapi, ah…rasa mual in tetap ada. Rasanya pingin turun dari bus itu dan istirahat sebentar untuk menghirup udara segar. Sungguh hampir aku tak bisa menahan mual ini. Kucoba memejamkan mata, agar rasa pusing tidak semakin menjadi.

“MT Haryono…MT Haryono…siap-siap…”, tiba-tiba kernet angkot bus itu berteriak. Alhamdulillah…akhirnya tempat yang aku tuju sudah mendekat.

“Kiri, Mas’ , jawabku singkat.

Alhamdulillah…akhirnya penderitaanku berakhir…lega rasanya bisa keluar dari angkot itu. Kutarik nafas panjang setelah kakiku menginjak turun. Berjalan perlahan, kuayunkan langkah menyusuri gang sempit menuju rumah ibu. Hari ini rasanya lelah sekali. Sudah menjadi kebiasaan baru, setelah selesai mengajar atau pulang dari kampus aku selalu mampir dulu ke rumah ibu. Setiap  sore Mas Aro selalu menjemputku untuk pulang ke rumah. Aku memang tidak langsung pulang ke rumah sendiri karena memang motor yang kami miliki cuma satu dan itu dipakai Mas Aro. Setiap  hari Mas Aro mengantar dan menjemputku pulang. Jadi kami berangkat dan pulang bersama-sama. Ini mengasyikan, karena biasanya dalam perjalanan pulang kita bisa mampir sekedar makan atau beli sesuatu yang bisa kita nikmati di rumah.

“Kamu tampak pucat, Dik. Kamu sakit?” tanya Mas Aro ketika sore itu dia datang hendakk menjemputku pulang.

“Gak tahu ni Mas. Dari perjalanan pulang dari kampus tadi, rasanya perutku mual terus. Pingin muntah. Dan kepala ini nyut-nyutan. Kayaknya aku mabok waktu di angkot tadi. Tapi gak bisa muntah. Apa kecapekan kali ya.”

“Ya udah kita pulang aja gak usah mampir-mampir ya. Kebetulan ini saya bawa makanan kesukaanmu. Tadi di kantor ada ibu-ibu nawarkan ini. Kata ibu-ibu tadi, kalau bapak sayang istri, beli satu buat istri tercinta di rumah. ya udah aku beli ini untukmu, ” kata Mas Aro sambil tersenyum.

Malam itu kami langsung pulang ke rumah tidak mampir kemana-mana. Melihat keadaanku yang lemas dan pucat, Mas Aro membuatkan teh hangat untukku. Esoknya aku cerita sama ibu. Kata ibu, mungkin aku hamil, karena salah satu tanda-tanda orang hamil rasanya perut mual, mau muntah apalagi mencium bau yang tidak disukai atau menyengat. Aku baru ingat, tanggal awal-awal begini biasanya datang bulan, ini sudah telat hampir dua minggu. Apakah ini berarti aku hamil ya. Kalau ini benar, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Engkau menitipkan amanat buat kami. Kabar baik ini akan kusampaikan pada Mas Aro. Tentu dia senang sekali.

bersambung…

Rabu, 25 Agustus 2021

Saling percaya dan menjaga (4)

Sepuluh hari menjelang pernikahan aku dengan Mas Aro, datang musibah . Hari itu tanggal 29 Mei 1997. Aku ingat dan tak akan kulupa seumur hidup. Mas Aro kecelakaan saat perjalanan pulang dari desanya menuju kota ini. Hari itu, kamis bertepatan dengan pemilu presiden. Hari minggu sebelumnya 25 Mei 1997 Mas Aro pulang ke desa. Selain akan bersilaturahmi dengan keluarga, ada keperluan lainnya yang tidak bisa diwakilkan. Sebenarnya berat juga melepas Mas Aro waktu dia minta ijin mau menjenguk keluarga di desa untuk sekian hari. Tapi biarlah, mungkin dia kangen juga dengan keluarga di desa, pikir aku.

Kata orang tua, menurut adat Jawa, menjelang pernikahan ada baiknya tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat gagalnya pernikahan, misal bepergian jauh, atau “dipingit”. Pingit di sini mengandung arti juga antara calon pengantin pria tidak boleh bertemu dengan calon pengantin wanita selama beberapa waktu, biasanya 1-2 minggu. Hal ini bertujuan agar calon pengantin wanita dapat mempersiapkan diri dan beristirahat sehingga pada hari “H”akan tampak segar dan bahagia karena sekian lama tidak bertemu dengan calon suaminya. Pingit juga bertujuan untuk memupuk rasa saling percaya dan saling menjaga hubungan kedua keluarga sebelum mereka menjadi satu keluarga.

Malang tak bisa dihindari untung tak bisa diraih, begitu pepatah mengatakan. Kita tidak bisa mengetahui nasib apa yang akan menimpa kita. Semua adalah rahasia Allah. Kita hanya berusaha, tapi Tuhan yang menentukan. Mas Aro mengalami kecelakaan tepat sepuluh hari menjelang pernikahan kami. Motor yang dinaikinya diserempet bus, dan dia terlempar di pinggir jalan. Pagi di hari naas itu, Mas Aro berbocengan dengan adiknya, rencana mau balik ke kota ini. Karena masih pagi buta habis subuh, jalanan masih sepi, belum banyak yang lewat, maka keduanya tidak ada yang menolong. terlantar di pinggir jalan.  Mas Aro pingsan dengan luka di kepala, sedang adik Mas Aro hanya luka ringan. Adik Mas Aro berusaha mencari pertolongan dengan mencoba menghentikan setiap motor atau kendaraan yang lewat pada saat itu, tapi tak satupun yang mau berhenti dan mau memberikan pertolongan. Mungkin mereka takut karena kejadian laka lantas tabrak lari di luar kota, mereka takut berurusan panjang dengan pihak kepolisian. Hingga akhirnya setelah kurang lebih satu jam, sekitar pukul 06.00 wib ada mobil angkot dari pedagang yang akan menuju ke kota mau dihentikan dan memberi pertolongan, membawa Mas Aro dan adiknya ke rumah sakit.

Sampai di RSU Karyadi Semarang di bagian UGD, Mas Aro belum sadarkan diri. Baru setelah diperiksa dan dilakukan penanganan awal, Mas Aro sadarkan diri. Saat sadar, yang pertama kali diingatnya adalah aku, calon istrinya dan tanggal pernikahan kami yang sudah dekat.

“Dimana aku. Mana calon istriku. Mengapa aku di sini” teriak Mas Aro. Orang-orang di sekitar dan dokter yang menanganinya menenangkannya. Dijelaskan oleh adiknya, bahwa dia mengalami kecelakaan tersenggol bus malam ketika mau pulang ke kota ini, lalu dibawa ke RSU ini.

“Lalu bagaimana dengan penikahanku yang hanya beberapa hari lagi?” tanyanya. “Aku tidak mau gagal. Aku mau menikah dengan Nunung,” tangisnya.

“Sudahlah itu dipikirkan nanti, Pernikahan itu bisa ditunda. Kamu tetap menikah dengan Mbak Nunung. Yang penting sekarang kamu sembuh dulu. Nanti biar aku mengabari Mbak Nunung”, kata adiknya sambil berusaha menenangkan Mas Aro.

*****

Berita musibah di hari itu bagaikan sambaran petir dahsyat yang kurasakan. Seakan langit runtuh dan aku tak bisa membayangkan pernikahan yang tinggal beberapa hari di depan mata harus gagal. Bukan saja hanya kecewa dan sedih, tapi keraguan di hati sampai kapan aku menunggu kesembuhan Mas Aro, dan kami bisa menikah. Melihat kondisi Mas Aro, kata dokter cukup lama dan perlu ketelatenan agar cepat sembuh normal. karena luka di bagian kepala dan mengalami sedikit benturan.

Akhirnya tanggal pernikahan kami yang rencananya tanggal 8 Juni 1997 harus dibatalkan, menunggu hingga kesembuhan Mas Aro, entah kapan. Padahal persiapan sudah 90 persen, mulai dari gedung, rias dan baju pengantin, catering, undangan dan pernak-pernik seserahan sudah siap. Tapi bagaimana lagi …aku tidak jadi menikah di hari itu. Hari yang kutunggu-tunggu, hari yang kuimpikan, lenyap begitu saja, berganti dengan duka.Tapi di balik musibah ini, aku yakin ada hikmah di dalamnya. Aku yakin semua ini sudah kehendak Allah. Allah memberikan yang terbaik untukku, untuk kami. Allah akan mengganti hari ini dengan hari lain yang lebih indah.

Aku berusaha bersabar, tawakal, berserah diri pada Allah. Aku menerima semua ini dengan ikhlas. Aku harus semangat, menunggu dan merawat kesembuhan Mas Aro. Kuurus semua biaya pengobatan Mas Aro, dan jaminan sosial dari perusahaan tempat mas Aro bekerja. Keluargaku, bapak dan ibu prihatin dan juga sedih, tapi mereka tetap menyemangati aku dan membesarkan hatiku. Aku tetap bisa menikah dengan Mas Aro, hanya tinggal menunggu waktu. Doa dan dukungan dari keluarga dan teman-teman membuat aku yakin Mas Aro segera sembuh, sehat seperti sedia kala, dan kita bisa menikah.

Alhamdulillah, pihak perusahaan tempat Mas Aro bekerja memberi cuti dan tidak mem-PHK Mas Aro , malah gaji bulanan diberikan utuh, karena dianggap Mas Aro selama ini sudah bekerja dengan baik. Biaya kontrol berobat juga ditanggung pihak perusahaan. Uang tabungan yang sejatinya akan kugunakan untuk biaya pernikahan kupakai untuk membantu biaya perawatan Mas Aro. Di sinilah aku merasa sudah mempuyai kewajibanku untuk membantu baik materiil maupun nonmateriil demi kesembuhan calon suamiku, meski statusnya kami belum resmi suami istri. Dengan kesabaran, saling percaya dan saling menjaga, aku yakin ujian pertama ini sebelum kami menikah, dapat terlewati.

Saking peraya dan menjaga (3)


Pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua, adalah yang aku inginkan. Hari-hari pertama yang kulalui bersama Mas Aro sangat menyenangkan. Meski kita tinggal di gubuk yang sederhana, tapi Alhamdulillah gubuk itu hasil keringat aku bekerja sebagai dosen di Akademi Analis Kesehatan Nusaputera selama 2 tahun. Meski uang yang kukumpulkan cukup untuk DP rumah, namun aku bahagia bisa menempati rumah sederhana milik kami. Meski letaknya jauh di pinggir kota namun semuanya itu aku syukuri karena sejak awal memang aku menyadari kita mampunya hanya kredit rumah yang sederhana dengan harga yang murah. Dengan suasana alam pedesaan yang masih alami, masih sepi, semakin menambah kebahagiaan kami, karena lingkungannya yang asri dan segar di daerah pegunungan.

Hari-hari terasa sangat menyenangkan dan membahagiakan. Kemana-mana kita selalu bersama, makan bersama, jalan-jalan berdua, bercanda berdua. Ah…rasanya dunia milik kita berdua. Mungkin inilah masa pacaran kami setelah menikah. Hari-hari kita lalui penuh kemesraan, lengket dan lengket. Tak banyak aktivitas yang kita lakukan, Sore hari setelah pulang kerja, kita duduk-duduk menikmati udara sore sambil ngobrol dan canda sana sini. Setelah sholat Isya, nonton TV sebentar lalu tidur. Mungkin masih pengantin baru ya. dan belum punya momongan, jadi kita nikmati aja masa pacaran ini sebelum nanti masa repot dengan urusan anak.

Hari-hari awal pernikahan aku banyak belajar, banyak menyesuaikan diri.  Belajar menjadi istri yang baik, yang menyenangkan suami. Dalam Al Qur’an juga dijelaskan surganya laki-laki adalah memiliki istri yang sholehah. Aku berusaha menjadi istri yang sholehah. Rutinitas pagi seperti menyediakan sarapan, membereskan rumah sebelum mengajar biasa aku lakukan. Apalagi sejak kecil orang tua sudah mengajarkan untuk mandiri dan membantu pekerjaan rumah. Kadang-kadang suami juga membantu aku. Mungkin tidak tega melihat aku sudah bekerja, masih harus meyelesaikan pekerjaan rumah. Atau, memang dia nggak punya kesibukan, jadi membantu tugas rumah, atau memang dia sayang padaku ya. Entahlah. He..he..aku yang kegeeran ya.

Mencuci dan menyeterika sudah menjadi kebiasaan baruku. Memasak  dan mencoba resep baru menjadi hobiku sekarang. Aku banyak belajar pada ibu bagaimana mengatur rumah dan mencoba resep masakan ibu. Ternyata suami suka masakanku, dan selalu memujiku karena masakan yang kumasak enak dan bervariasi katanya. Tentu ini aku anggap bukan pujian bohong memang kenyataannya resep masakan dari ibu memang pas. Ibu memang jago masak.

Kata orang tua, calon suami atau istri itu harus dilihat bibit bobot bebetnya. Bibit adalah garis keturunannya, dari mana dia berasal,  orang tua dan keluarganya bagaimana. Yang kedua bobotnya, kualitas diri baik jasmani dan rohaninya,  siapa dia, pendidikannya, apa pekerjaannya, apa pangkatnya. Bebet adalah cara berpakaian, artinya dari cara berpakaian atau penampilannya akan menunjukan kualitas dirinya dan status sosialnya. Apakah kriteria ini masih berlaku di zaman sekarang? Bagi aku kriteria itu tetap berlaku meski tidak semuanya aku setuju. Bukankah jodoh, rezeki, kematian dan kelahiran itu rahasia Allah? Bisakah kita menolak maut yang datang menemui kita atau bisakah kita minta jodoh yang kaya, ganteng, baik, punya pangkat tinggi, keturunan ningrat, tidak kan? Kita tidak bisa memilih, namun kita berusaha dan berdoa, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita. Aku yakin, wanita sholehah akan berjodoh dengan laki-laki sholeh, orang baik akan dipertemukan dengan jodoh yang baik. Baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah, maka urusan jodoh aku pasrahkan sama Allah. Tiap malam dalam tahajudku, aku mengadu pada Allah semoga aku diberikannya laki-laki yang bisa menjadi imam bagi aku, bapak yang bertanggung jawab bagi anak-anakku, dan suami yang mengayomi, suami yang menjadi panutan dunia akhirat. 

Saling percaya dan menjaga (2)

 

Hingga saat ini aku masih belum percaya pada keputusanku sendiri, bagaimana aku bisa menerima lamaran mas Aro yang menginginkan aku jadi istrinya. Selama ini kami belum pernah pacaran, dan aku baru mengenalnya setahun yang lalu. Ketika tiba-tiba dia mengajak menikah, aku mengiyakan, apakah ini merupakan keputusan yang tepat ? Apakah jawaban “iya” dikarenakan aku yang pernah kecewa dengan apa yang pernah kualami dulu? Dua kali pernah menjalin cinta, tapi tak pernah berumur lama, karena dia tak serius. Dan sekali pernah pacaran dengan seorang laki-laki, cukup lama dan kita sudah saling mengenal keluarga masing-masing, tapi di tengah jalan dia mundur, karena tidak mendapat restu dari ibunya.

Kegagalan masa lalu membuat aku menutup diri dari terhadap laki-laki yang mencoba mendekati aku. Pelarianku adalah aku harus selesai kuliah, menyelesaikan studi, tak usah berpikir untuk menikah apalagi pacaran. Bagiku menyelesaikan kuliah tepat waktu dan segera mendapatkan pekerjaan adalah obsesiku saat itu. Karena aku ingin membahagiakan bapak dan  keluarga. Bapak yang telah membanting tulang mencari nafkah demi menghidupi keluarga dengan 4 anak. Sementara ibu membantu berjualan makanan kecil yang dititipkan di warung, demi menambah income keluarga.

Bapakku adalah seorang pegawai bank swasta, yaitu Bank Umum Nasional, sebelum akhirnya bank tersebut merger menjadi Bank Mandiri di masa krisis tahun 1998. Meeski hanya lulusan SMP dengan beberapa keterampilan dari kursus dan ijasah yang dimiliki, banyak orang mengira bapak adalah lulusan SMA atau pernah kuliah. Bapak memang hanya memiliki ijasah SMP, tapi cara berpikir dan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas kantor menjadikannya menjadi orang kepercayaan nomor dua setelah Kabag di bagian  ekspor impor bank itu. Bekerja di bank itu menjadi kebanggaan bagi bapak, meski hanya lulusan SMP. Maka bapak punya cita-cita semua anaknya harus berpendidikan tinggi, setidaknya sarjana, agar kelak bisa mendapatkan pekerjaan dengan kedudukan yang bagus di suatu perusahaan.

Bapak memang tidak mewariskan harta, tapi bapak mewariskan ilmu dan mengutamakan pendidikan. Dengan ilmu dan sekolah yang pintar kelak kamu akan mendapatkan harta. Itulah kata-kata yang selalu ditanamkan ke kami anak-anaknya. Oleh sebab itu bapak pingin anak-anaknya bisa mengenyam pendidikn tinggi, tidak seperti beliau. Sungguh mulia cita-citanya dan sungguh menjadi teladan kami. Beliau adalah sosok kepala keluarga yang penuh tanggung jawab dan penyayang pada anak-anaknya.

*****

“Kamu sudah mantap menjatuhkan pilihanmu pada Aro, Nung?” tanya bapak waktu itu saat aku minta izin menikah dengan Mas Aro.

“Sudah kamu pikirkan baik-baik? Dia belum punya pekerjaan tetap dan pendidikannya hanya lulus Madrasah Aliyah. Sedang kamu lulusan perguruan tinggi ternama dengan IP yang cukup bagus. Apa kamu nggak menyesal nantinya? Bisakah dia membahagiakan kamu hanya dengan bermodal cinta?”.

Itu serentetan pertanyaan yang diajukan bapak kala itu. Ibu juga tidak menyetujui rencanaku menikah dengan Mas Aro. Selain kurang bibit bobot bebetnya, aku juga belum lama mengenalnya. Ibu khawatir kelak hidupku akan susah. Meski demikian kedua orang tuaku tak bisa menahanku karena ini keputusanku dan kemauanku dan mereka tidak bisa mengatur hidupku. Mereka bijaksana dalam memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih dan menjalani kehidupan masa depannya. Mereka akan selalu mendoakan semoga anak-anaknya bahagia, dalam lindungan kasihNYa.

“Insya Allah pak,bu”. Itu yang bisa aku katakan pada mereka saat itu. Doa dan restu kalian yang selalu aku harapkan. Semoga aku bahagia hidup bersama suami pilihanku, doaku dalam hati.

Senin, 23 Agustus 2021

Saling percaya dan menjaga

Mengarungi biduk rumah tangga, menyatukan dua hati yang berbeda, dengan latar belakang kehidupan sosial budaya yang berbeda, dengan karakter masing- masing yang telah terbentuk sekian tahun butuh penyesuaian yang tidak gampang. Butuh saling pengertian, saling memahami, dan rela untuk mengalah. Kedua insan yang telah terpaut hati dan mencintai dengan tulus akan mudah melewati masa-masa sulit di lima tahun pertama usia perkawinan. Namun bila mementingkan ego masing-masing, tentu akan sulit melewati ujian yang datang dan yang ada perbedaan, perselisihan yang akan menghancurkan mahligai yang mereka bangun.

Sore itu Nunung duduk melamun di depan teras rumah. Rasanya hampir tak percaya bahwa sudah sebulan ini dia menikah dengan Aro, suami pilihan hatinya. Dia teringat  kala itu Aro melamarnya, ketika dia  selesai belajar mengaji bersama Aro. Kala itu memang Nunung adalah santri yang terakhir pulang. Teman-teman santri putra dan putri sudah pulang. Kebetulan malam itu gerimis, yang datang mengaji hanya beberapa saja dan mereka langsung pulang begitu selesai mengaji. Kini tinggalah dia sendiri, berdua saja dengan Aro, di ruang depan tempat Aro guru mengajinya mengajar.  Sementara di luar masih gerimis, dan beberapa santri masih menunggu.

“Nung, kemarilah. Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu.” kata Aro. Suaranya yang tenang, seakan membius di telinga Nunung. Ah, suara itu begitu berkharisma, begitu lembut, suara yang selalu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Alangkah bahagianya wanita yang mendampingi mas Aro. Tentu rumah tangga mereka jauh dari keributan selalu damai penuh cinta kasih dan harmonis. Keluarga yang saling mencintai dan saling menyayangi dalam satu akidah yang sama. Tidak seperti dirinya, meski hidup dibesarkan dalam keluarga yang  bahagia, berkecukupan, namun berbeda akidah. Dia dan kakak memeluk Islam, sedang kedua orang tua dan kedua adik laki-lakinya menganut akidah yang lain. Meski saling bertoleransi, namun tidaklah sama dalam menjalankan agama. Apalagi pada saat merayakan hari besar agama masing-masing. Ah, mungkinkah suatu saat nanti aku dipertemukan oleh Allah  dengan seorang laki-laki yang seiman?

“Nung, coba ke sini sebentar” panggil Aro lagi.

“Eh..Iya mas.”  Nunung tersentak kaget. Panggilan Aro membuyarkan lamunannya. Berbegas Nunung duduk di kursi menghadap Aro. Kini pandangan mata Nunung beradu pandang dengan tatapan Aro.

“Kamu melamun ya.” , goda Aro.

Ah…, senyum itu menggetarkan hatiku. Aneh. Ada sesuatu yang tiba-tiba berdesir lembut di relung hati, tatkala laki-laki di depanku tersenyum dan agak sedikit nakal menggoda dengan kerlingan matanya. Rupanya sedari tadi Aro memperhatikannya.  Dan, kenapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang kala pandangan kami bertemu? Ya Allah, pertanda apakah ini? Dan aku tak sanggup berlama-lama membalas tatapannya. Bukankah pandangan pada detik pertama itu rezeki dan selanjutnya dosa? Kucoba alihkan pandanganku. Pura-pura kurapikan hijab yang menutup wajahku. Sambil tertunduk dan tersipu, aku mencoba menetralkan debaran yang kurasakan dengan tersenyum tipis.  Mungkin bila bercermin, mukaku memerah karena malu.

“Nung..kamu cantik.” Suara Mas Aro sangat pelan, setengah berbisik. Kudengar dia menghela nafas panjang, sebelum akhirnya mengatakan ini. “Setelah hampir setahun kamu belajar mengaji di sini, kemajuanmu sangat pesat. Dan kamu rajin serta mau berlatih mengucapkan lafal dengan benar. Nung, selama kamu belajar diam-diam aku sering memperhatikan kamu,  maaf. Saya ingin mengenalmu lebih jauh. Bolehkah?”

Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi. “Bukan sekedar teman atau antara santri dan gurunya, lebih dari itu…aku ingin melamarmu, menjadikanmu pendampingku. Memang ini terlalu cepat. Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Apapun jawabanmu, aku siap menerimanya. ”

Bagai disambar petir. Betapa kata-kata itu bak membawa hati ini berada dalam taman bunga yang bermekaran, harum dan indah dipandang mata.  Hatiku serasa melayang, ingin rasanya kujawab sekarang, tapi tidak, dia memberi waktu aku untuk berpikir. Andai saja dia tahu, aku juga mulai ada tanda-tanda suka padanya. Bukan sebagi santri dan guru, tapi suka antara seorang wanita dan laki-laki. Ya Allah, benarkah apa yang kurasakan ini. Inikah jawaban dariMu pada doa-doa yang selama ini aku panjatkan? Aku hanya ingin bertemu dengan jodohku, seorang laki-laki yang bisa menjadi imamku di sepanjang hidupku. Semoga dia adalah seorang laki-laki yang baik yang Engkau hadirkan untukku.

Malam itu adalah malam sejarah, awal aku mengenal Mas Aro, laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Meski baru sebentar mengenal, hati ini sudah mantap ingin menjalin hubungan lebih serius. Meski dia belum pernah mengucapkan kata cinta, namun dari sikap dan perhatiannya, aku bisa merasakan lebih dari sekedar ucapan cinta. Dia sangat menyayangiku, dengan caranya, dia sangat mencintaiku dan selalu berusaha membuatku bahagia. Meski dia tidak bisa romantis, tidak pernah merayu, tapi aku tahu dia sangat mencintai aku. Terima kasih ya Allah, hari-hari kami begitu indah meski tanpa pacaran, dan tak menunggu lama, 6 bulan berikutnya dia mengawiniku.

Di depan Om Tono adik kandung bapak, Mas Aro mengucapkan akad nikah pada bulan Agustus. Dan hari itu adalah awal perjalanan panjang kami mengarungi lautan kehidupan berumah tangga dengan berbekal cinta, rasa percaya dan saling menjaga. Tak pernah terbayangkan akan hantaman badai, dan pernak-pernik masalah yang menghadang. Bismillah…aku yakin ini sudah kehendakNya, karena aku mencintainya karena Allah dan aku yakin rencana Allah lebih indah.

bersambung…

Mampukah Aku Menghadapinya

 Mampukah Aku Menghadapinya Siang itu aku begitu malas untuk mengajar. Hari-hari rasanya begitu aneh. Begitu meresahkan. Menyebalkan. Membua...